----------------------------------
Genre : Thriller, drama, horror
Bag 1 : Intro
Ada anak perempuan yang kulihat sedang menangis di tengah taman bermain, tepatnya diatas ayunan berwarna kuning. Yang aku tahu dia menangis karna di olok oleh teman-teman sebayanya. Dikarnakan permen yang ia bawa lebih murah daripada yang lain.
Tak lama datang seorang heroik. Seorang anak laki-laki yang penuh dengan keringat dan terdapat banyak sekali noda di baju putihnya. Dia membalas olokan mereka. Mengejarnya. Lalu mereka pergi karna ketakutan. Tak lupa ia mengatakan akan menghajarnya jika mereka melakukan itu lagi pada gadisnya. Ya, kurasa begitu.
Anak perempuan itu menghampirinya. Membagi separuh permen miliknya sebagai tanda ucapan terimakasih. Lalu tersenyum. Anak laki-laki itupun tertawa ragu sembari menerima permen pemberian darinya hingga terlihat ada gigi susu nya yang sudah hilang disana.
Anak laki-laki itu ternyata anak dari seorang milyuner dikotanya. Gadis itu tidak mengetahui status atau keberadaan dia yang sebenarnya. Yang ia tahu, dia selalu ada jika ia mau berada di taman bermain.
Gadis itu bahagia karna ada yang mendorongkan ayunannya dan bersorak kepadanya jika dia berada di ketinggian. Kadang dia menjerit karna ayunannya terlalu tinggi dan memarahi bocah laki-laki itu. Namun, mereka akur kembali setelahnya. Dan kembali bersenang-senang ditaman. Seperti menata batu-batu kecil yang dianggapnya adalah sekat untuk ruang tamu, kamar, kamar mandi,dan dapur. Ya, mereka bermain permainan Ibu dan Ayah. Sampai-sampai tidak menyadari bahwa langit kini sudah mulai memerah.
Tak disangka, bocah laki-laki itu dipergoki oleh salah satu pengawal yang membawa paksa tuan muda untuk pulang. Gadis itu bingung. Untuk umurnya yang masih terlalu muda, sangatlah wajar jika tidak mengetahui bahwa kasta itu dibagi menjadi dua. Yang ia tahu, dia dimarahi olah ayahnya dan tidak boleh bermain lagi dengannya.
Dia sedih, karna harus kehilangan teman yang dimana ia adalah satu-satunya anak yang mau bermain dengannya kala itu. Didalam mobil, anak laki-laki itu menempelkan wajahnya ke kaca dan juga telapak tangannya dengan tatapan penuh penyesalan. Gadis itupun melambai lemah seraya mengucapkan selamat tinggal disaat mobil yang di tumpangi sudah melaju. Hingga pada akhirnya sebuah pohon besar menghalangi pandangan mereka berdua.
Itulah terakhir kali aku bertemu dengan gadis kecil yang dimana aku tidak akan pernah melupakannya dan mungkin juga untuk menemuinya lagi.
Permen pemberiannya masih aku simpan didalam sebuah kantung kecil hingga sekarang, dan aku selalu membawa ini kemanapun aku pergi. Karna hanya permen inilah yang bisa mempertemukan kami lagi.
Aku berharap...
Dia masih hidup...
Dunia kini sudah tidak lagi bersahabat dengan manusia. Dimana sebuah bencana besar datang seperti tsunami dan memporak-porandakan semuanya. Termasuk rumah megah dan 5 perusahaan Ayah dan Ibu. Dimana itu adalah cara keluargaku hidup. Begitu juga orang-orang yang bergantung kepada kami. Dalam artian mereka adalah para pegawai diperusahaan Ayah dan Ibu.
Kami hidup di tengah hutan sekarang. Didalam gubuk beratapkan daun kelapa yang dibentuk sedemikian agar bisa meneduhi kami semua dikala hujan. Kami lakukan ini untuk berlindung dari para utusan Tuhan yang akan membinasakan manusia. Mereka semua datang dari langit bagaikan hujan yang turun seminggu setelah kejadian tsunami yang maha dahsyat itu.
Mereka mencabik, memukul, menebas semua manusia yang ada dihadapan mereka. Wajahnya amat sangatlah menyeramkan, dimana rahangnya bagaikan belalang yang terbuka dari arah samping. Kulihat pula ada seperti tanduk rusa di kepalanya. Dengan mata kuning bagaikan ular dan juga telinga runcing yang bergerak-gerak. Entahlah, makhluk apa yang Tuhan ciptakan. Yang jelas mereka sangatlah mengerikan. Ditambah lengan kekar berwarna kemerahan juga berbulu lebat. Raungannya begitu dalam dan menggema. Itulah sekilas aku melihat mereka dari kejauhan.
Tapi, apakah perempuan itu selamat? Aku juga tidak tahu. Tapi, hati ini mengatakan bahwa dia masih hidup. Meskipun kisah itu sudah berlalu 17 tahun yang lalu...
Bag 2 : Pengenalan
Hidup didalam tekanan extreme yang kurasa selama ini, tidak pernah menguatkan hatiku. Terutama jika harus kehilangan salah satu diantara kami semua. Namun, setidaknya aku sudah terbiasa dengan makanan yang amat sederhana. Karna keterbiasaanku bermain dengan anak-anak kalangan bawah waktu dulu. Jujur, pada saat itu aku merasa bosan. Jadi, aku menyamar menjadi seperti mereka agar aku bisa merasakan kebahagiaan bersama dengan mereka. Yang ternyata benar adanya.
Ibuku bernama Tesani Sidharta. Nama belakangnya di ambil dari nama keluarga ayahku yang bernama Prasraya Sidharta. Begitu juga dengan aku Yandra dan adikku Cendric, yang juga memiliki nama belakang yang sama.
Akan kuceritakan penyesuaian kami selama ini dengan kehidupan yang jauh berbeda dengan dulu. Dimana kami bisa menyantap segala hidangan enak dengan tampilan yang begitu apik dan tertata. Sungguh jauh berbeda dengan saat ini. Bahkan ibuku hanya bisa meminum air saja selama 10 hari demi menahan lapar. Dikarnakan ia tidak menyukai makanan yang disediakan oleh Bibi Shuwani kepala pembantu kami waktu dulu. Dengan segala bujuk rayu ayah dan adikku Cendrik. Akhirnya dia bisa makan sesuatu, meskipun harus muntah beberapa kali sampai akhirnya sepotong ubi jalar bakar bisa dengan sukses ditelannya.
Kasur yang empuk dibalut spray bulu yang mahal serta hangat di tengah ruangan kamar yang luas dan hanya digunakan oleh satu orang saja. Kini harus berdesakkan sembari memiringkan tubuh. Ditambah gigitan nyamuk hutan yang begitu menyakitkan. Sebenarnya kami bisa menyalakan api dan membiarkan asapnya. Namun, adikku memiliki asma yang berasal dari ibuku. Lantas, mereka hanya menepuknya. Hasilnya ibu, adik, dan bibi tidak pernah tidur dengan nyenyak.
Aku tidak pernah ikut tidur bersama ibuku. Aku adalah anak sulungnya yang akan ikut berjuang bersama ayah dan 3 pengawal setianya. Yoda, Giandra, dan Aruna. Merekalah yang menjaga kami sekeluarga hingga bisa bertahan hidup hingga sekarang.
Kini malam sudah tiba, seperti biasa aku akan berjaga-jaga di arah utara gubuk ini bersama ayahku. Dan 3 pengawal lain masing masing di satu arah mata angin. Akan kupastikan bahwa ibu, adik, dan bibi berada didalam situasi yang aman. Akan ku jamin itu. Karna aku dan ayah adalah tim penjaga yang hebat .
"Yah, kamu kelihatannya sangat lelah malam ini," tanyaku basa-basi.
"Tidak, Yandra. Hanya sedikit jenuh," jawabnya lesu.
"Apa sebaiknya kita berdua berburu saja, ayah?"
"Hmm... Ide bagus, mari kita berburu hewan hutan," jawabnya semangat.
"Great!"
Aku dan ayah kini sudah bukan lagi manusia lemah. Kejadian inilah yang membuat kita berdua menjadi manusia tangguh. Bahkan kami juga sudah bisa mengalahkan satu makhluk itu walaupun dengan susah payah dan beberapa kali tangan kokoh Nun itu hampir menangkap kami berdua.
Nun adalah sebutan kami kepada makhkuk itu, dikeningnya tertulis abjad arab tepat dikeningnya. Namun, jika kami lihat ada 7 warna setelah kami pantau 2 tahun belakangan ini. Diantaranya adalah : hijau yang berarti paling muda. Kuning berarti dia sudah berusia 18 hari dan nantinya akan menjadi 5 warna diantaranya : Biru, berarti dia si pemberi signal, kami harus waspada jika tidak sengaja menemukan Nun jenis ini. Sudah pasti dia tidak sendiri. Dia berpasangan, dengan yang berwarna merah yang memiliki tangan yang besar sebelah. Itu akan sangat merepotkan. Karna bila terkena terkamannya, hancurlah tubuh ini. Kami bahkan harus kehilangan salah satu pengawal setia ayah yang rela mengalihkan perhatiannya agar kami bisa melarikan diri. Kamu memang pahlawan kami Gibran.
Masih tersisa 3 warna lagi. Putih adalah pelari cepat, ungu berarti dia bisa menyerang kami dengan cara jarak jauh. Dia melontarkan sejenis batu dari dalam mukutnya, kira-kira berukuran kepalan tagannya. Dimana itu akan melesat menghancurkan apapun, termasuk tank yang dibanggakan oleh tentara di negara Rusia sekalipun. Dan yang terakhir adalah Nun yang dimana tulisannya berwarna Violet yang menyala. Dialah yang terkuat, dimana apa yang aku sebutkan selain berwarna hijau dan kuning adalah semua keahliannya. Jika ia ada, kami hanya bisa terpejam, berharap agar kematian segera berlalu dengan cepat.
Kami mengendap-endap dikegelapan malam. Cahaya bulan yang terang malam ini sungguh sangat membantu, buruan kita pasti tidak akan menyadari kehadiran kami. Karna obor tidak diperlukan lagi saat ini.
"Ayah, lihat itu!" bisikku perlahan
"Iya, ayah akan bersiap," yang sembari mengokang senapan laras panjang kebanggaannya.
DOR...!!!
"Dapat!"
"Biar aku yang mengambilnya."
Aku melompat ke arah semak-semak dimana hewan itu tersungkur. Lumayan, ini adalah seekor kelinci hutan yang cukup besar. Ibu sangat menyukai ini. Syukurlah.
Tapi, ada gerakan yang menggetarkan tanah yang entah darimana asalnya. Tak kusangka pada saat aku melihat tepat kearah belakang ayahku. Itu adalah Nun.
"Ayah, lari...! Itu Nun!" seketika ayahku menghampiriku dan menggandeng tanganku untuk berlari tanpa menengok kebelakang. Makhluk itu mengejar kami.
"Jangan ke tempat ibu! Ayo kita bawa dia menjauh!" teriak ayah yang sembari berlari menerobos segala jenis semak belukar.
Nun yang mengejarku adalah nun yang berwarna Hijau. Berarti dia baru lahir. Namun, bukan berarti dia tidak bisa menyerang, dia terlahir dengan kulit yang keras bagaikan batu. Karna cahaya rembulan yang mulai tertutup awan. Aku tidak dapat melihat akar pohon yang melintang didepan ku. Hingga aku tersungkur jatuh.
"Aaarghh... Kakiku tersangkut" kaki ku menabrak akar pohon. Ayah segera mematahkannya menggunakan parang, dan segera membangkitkan ku dan melanjutkan untuk berlari. Karna makhkuk itu semakin dekat.
Aku dapat melihat tanduknya, dia kini tidak jauh lagi dari kami. Hingga pada akhirnya kami terpojok di dinding tebing yang tinggi.
"Sial, apa selanjutnya,"
"Buang kelinci itu,"
"Tapi," pikirku "Baiklah," lalu aku melemparnya. Makhkuk itu langsung menangkap dan memakannya dengan lahap. Lalu ayahku dan aku bergerak ke arah yang berlawanan sehingga kami berada tepat di samping makhluk itu.
Dor...!!!
Kami menembak kepala makhluk itu, dia masih lemah dan kami masih bisa dengan mudah mengalahkannya. Kini makhluk itu tersungkur setelah meraung kesakitan.
"Bagus, dia sudah mati. Tapi kita harus bergegas untuk mengabari mereka. Kita akan pindah malam ini juga. Ayah yakin, dia adalah si pemberi signal, dan mungkin saja telur-telurnya berada didekat tempat kita berkemah. Dan kita tidak menyadarinya." aku cukup tercengang mendengar tentang perkiraan ayah. Karna ayah mungkin lebih jeli daripada aku.
"Baik, ayo kita pergi," lanjut ayahku lagi.
Bersambung...
Bag 3 : Seakan tak percaya.
Kami bergegas ke tempat ibu. Melewati puluhan pohon dan menerjang semua semak belukar. Mungkin aku akan temukan luka dikakiku nanti, karna kami sangat buru-buru sehingga tidak menghiraukan apapun yang kaki ini injak dan tendang. Alasannya adalah Karna mereka satu-satunya yang paling berharga dan mengalahkan segalanya.
Tiba-tiba ada seseorang yang menodongkan senjata. Kami tersentak. Secara refleks juga demikian, mengokang senjata padanya. Mungkin dia seseorang yang akan merampok kami.
"Ah, tuan. Ini aku Yoda"
"Astaga, ada apa kau kemari, Yoda?"
"Yoda sedang mencari tuan dan tuan Yandra. Kami akan segera pergi dari sini." jawabnya yang agak tergesa-gesa.
"Aku mengerti, ayo!" tanpa berlama-lama, kami segera menuju gubuk dengan berlari secepat-cepatnya.
Disela kami berlari, Yoda mengatakan sesuatu kepada kami.
"Yoda menemukan beberapa telur Nun. Dan secara tidak sengaja aku menginjaknya yang terkubur didalam tanah," jelas Yoda. Aku merasakan dua perasaan berbeda disini, merasa terkejut dan konyol. Terkejut karna dugaan ayah ternyata benar dan aku ingin tertawa setelah mendengar apa yang ia katakan barusan. Dia mengatakan itu dengan nada polos.untung saja dia tidak terperosok keladam telur itu karna memang ukurannya yang besar.
"Untung kau segera menyadarinya. Ayo percepat. Jangan sampai Nun menyadari itu," pungkas ayah.
Yoda membawa perbekalan begitu juga dengan Aruna dan bibi Shuani. Aku dan ayah memegang senjata untuk berjaga-jaga diperjalanan. Ibu menyuruh Giandra untuk membopong Cendric lalu aku menyuruhnya untuk kembali tidur.
Akan kuceritakan sedikit tentang adikku. Cendric yang saat ini masih berumur 16 tahun. Kini dia sangat jauh berbeda. 4 tahun yang lalu, dia sangatlah tampan dan menggemaskan. Memiliki bibir merah bagai perempuan. Bertubuh tegap seperti ayah dan memiliki rambut bergelombang sepertiku. Aku masih ingat dengan jelas momen dimana pada saat hari ulang tahunku, dia membangunkan aku pukul 4 pagi dengan pakaian badut lengkap dengan hidung bulat merahnya. Sembari membawa cupcake yang ia beri 1 lilin sembari menyanyikan lagu ulang tahunku dengan menyelipkan namaku diliriknya. Hah... memori indah itu selalu terbesit jika aku melihat ia sedang tertidur pulas. Kini perawakannya terbilang mengkhawatirkan bagiku meskipun itu hanya terlihat kumal saja, itu karna aku sangat menyayanginya. Tenanglah Cendric, ada kakak disampingmu.
Ditengah hutan yang gelap kami berjalan ke arah selatan. Insting kami mengatakan bahwa arah ini adalah arah yang aman. Entah pukul berapa saat ini. Yang jelas, kami akan tetap untuk terus berjalan. Menyusuri hutan yang tak berujung dibantu cahaya bulan purnama yang bersih dari halangan awan.
"Ayah, lihat! Ada asap!" aku menunjuk ke arah gubuk milik seseorang yang aku temukan.
"Apakah disana ada orang?" tanya ibuku.
"Mari kita cari tahu" pungkas ayah.
Setibanya kami digubuk, kami tidak menemukan seorangpun disini. Kami hanya menemukan seekor anjing terikat yang kemudian menyalak karna dia mengetahui kedatangan kami. Disamping itu, kami juga menemukan 3 mayat yang sepertinya masih mengeluarkan darah segar tepat d belakang gubuknya, mungkin.
"Astaga! Pras," pekik ibu yang sangat terkejut.
"Sssttt... pelankan suaramu Tesani," titahnya "darahnya masih segar, sepertinya mereka baru saja dibunuh," lanjut ayah.
"Apakah mereka diserang Nun?" tanya Aruna.
"Tidak, lihat ini," sembari menunjukkan selongsong peluru yang Giandra temukan "sepertinya mereka dibunuh oleh seseorang," imbuhnya.
"Apakah mereka dirampok?" Aruna bertanya lagi.
"Benar. Mereka telah mencuri bahan makanan miliknya" Jawab Giandra lagi yang mendapati tali yang mungkin mereka gunakan untuk menggantungkan umbi-umbian.
Sembari mendengarkan percakapan mereka bertiga, aku berusaha mendekati anjing jenis herder itu secara hati-hati. Ku dekatkan ujung jariku pada kepalanya. Dia berhenti menggonggong sekarang. Hingga pada akhirnya aku berhasil menyentuh dan mengusap perlahan kepala anjing malang itu. Ternyata dia jinak dan menjilati pergelangan tanganku. Tak tega rasanya untuk meninggalkan dia disini dengan masih terikat di tiang gubuk. Lalu aku melepas ikatannya dengan pisau lipatku. Sehingga ia bisa berlari menjauh. Setidaknya dia tidak akan mati kelaparan pikirku.
"Yandra! Ayo teruskan perjalanan," panggil ayahku yang sudah meninggalkan gubuk.
"Baik, ayah."
Cahaya matahari sudah mulai terlihat dibalik gunung. Kini kami merebahkan tubuh di atas bebatuan gua yang kami temukan semalam. Cukup besar, dan ada aliran sungai kecil didalamnya. Itu sangat berguna untuk kami minum atau sekedar mencuci muka. Namun aku lebih tertarik untuk pergi keluar sejenak.
"Yandra, sebaiknya kamu beristirahat, nak?"
"Aku hanya ingin mencari udara segar. Tidurlah, semua akan baik-baik saja," setelah kujawab. Dia seperti ingin menangis. "Kenapa, ibu?" tanyaku balik.
"Oh.. Tidak Yandra," yang lalu menyembunyikan air matanya "aku hanya bangga padamu. Kau seperti ayahmu," lanjutnya lagi sembari mengusap lembut rambut ayah yang sedang tertidur pulas.
"Jelas, bu. Aku-kan anaknya. Ha ha ha..." kami tertawa sejenak. "Ya sudah, ibu segera beristirahat,"
"Baiklah, jaga dirimu baik-baik."
Aku membiarkan yang lain untuk beristirahat didalam. Mereka semua pasti sangat lelah. Karna semalam sudah membawa adik dan semua bahan makanan kami hingga sampai kemari. Sedangkan aku hanya membawa senjata untuk melindungi mereka, dan itu tidak terlalu berat bagiku.
Sekarang aku terduduk di mulut gua. Memandangi langit biru dan membiarkan sinar hangat mentari pagi ini menerpa tubuhku. Damai rasanya. Rasa hangat ini akan aku ingat, karna aku akan sangat jarang sekali merasakan sensasi seperti ini. Gubuk lama kami berada di tengah hutan yang rimbun sehingga sinar matahari tak mampu menembusnya.
Samar-samar aku seperti mendengar seorang pria meminta tolong dari kejauhan. Aku menahan nafasku agar dapat memperjelas suara itu dengan menekuk telapak tangan ke dekat daun telinga. Aku yakin, itu bukanlah halusinasiku. Dan ternyata itu benar adanya. Karna suara itu seperti mendekat kemari.
Aku berjalan menuju sumber suara dengan hati-hati. Dan sepertinya ini berasal dari bawah sana. Karna posisiku lebih tinggi dari tempat dimana kami membuat gubuk kemarin. Aku meraih dahan besar dan berusaha naik ke atas pohon agar dapat melihat apa yang sedang terjadi.
"Astaga, Nun!" aku segera menuruni pohon dan berlari menuju lelaki itu untuk menolongnya. Dia terjatuh, dan Nun semakin dekat. Pria itu hanya bisa merengek karna Nun sudah berada tepat di ujung kakinya. Ia mengayunkan tangan besar itu. Akhirnya mereka terlihat lebih dekat, aku sesegera mungkin mengarahkan senapanku dan menembak tepat di samping kepala Nun itu. Ia tidak roboh tapi, kini aku yang menjadi sasarannya. Pada saat ia berbalik.
"Sialan, itu Nun putih." aku berlari kebelakang. Dan Nun juga mengejarku. Aku berusaha berlari sekuat tenaga. "Ini kesempatanmu untuk lari," ucapku dalam hati.
"Pohon rimbun!" aku berbelok ke arah dimana hutan itu lebih lebat. Setelah berhasil masuk, aku berlari secara zig-zag. Nun itu dengan membabi-buta menabrak pepohonan hingga tumbang. Butuh beberapa saat jika ia ingin kembali berlari cepat. Namun, tubuh besarnya kesulitan untuk berlari disela-sela pepohonan yang banyak dan berukuran besar. Aku mengambil kesempatan emas ini untuk berlari merputar haluan dan melompat untuk meraih dahan. Aku berusaha sebisa mungkin untuk bediri. Nun itu kini menghampiri aku yang sedang berada di atas dahan pohon dengan masih pula menabrak pepohonan. Dikala ia sudah dekat. Aku melompat dan menembakkan senapan revolverku tepat mengenai satu mata kuningnya.
"Gotcha!"
Nun itu meronta dan memegangi wajahnya. Darah berwarna merah itu keluar dari sela-sela jarinya yang menjijikkan. Aku tidak akan membuang kesempatan yang datang kedua kali ini. Aku akhiri dengan sedikit melompat untuk menembakkan peluru ini tepat ke arah kening, dimana huruf Nun itu berada. Karna ayah pernah mengatakan bahwa kening adalah tempat dimana Ruh-nya tinggal jika ia sudah memiliki lambang Nun-nya sendiri.
BAM...!!!
Kini tubuhnya terkulai lemah dan jatuh ketanah setelah menerima terjangan peluruku yang merangsek masuk kedalam keningnya. Tanganku gemetar setelah itu. Seakan tidak percaya bahwa aku bisa mengalahkan makhluk setinggi 8 meter itu sendirian. Tanpa bantuan siapapun. Aku merasakan kebanggaan tersendiri. Hingga pada akhirnya pria itu menghampiriku yang sedang berdiri di dekat makhluk itu.
"Wow, kau hebat sekali anak muda. Siapa namamu?" tanya pria itu dengan raut wajah takjubnya.
"Namaku, Yandra. Dan kenapa kamu sendirian? Dimana yang lainnya?"
"Aku tadi sedang mencari kayu bakar. Dan monster itu..."
"Itu Nun,"
"Ah, ya. Itu. Dia mengejarku begitu saja," lanjutnya.
"Baiklah, aku akan segera kembali, tapi..." aku mengedarkan pandanganku. Aku tersesat! Aku berlari terlalu jauh. Karna panik sehingga tidak membuat jejak apapun. Yang jelas, rasa panik itulah yang membuat aku lupa arah jalan untuk kembali.
"Kau bisa ikut denganku, Yandra. Perkenalkan. Aku Indris. Mari, ikut aku. Gubukku tidak jauh dari sini," ajak pria yang kiranya berumur 40 tahunan itu. Aku tidak bisa menolak. Tapi, aku mengkhawatirkan ibu dan Cendric. Aku telah berjanji jika akan menjaganya.
Aku akan segera menemukan kalian lagi. Percayalah.
Setibanya kami digubuk dimana Tuan Idris dan keempat anggota kekuarganya tinggal. Ia menceritakan aksiku disaat mengalahkan Nun itu seorang diri. Mereka seakan tak henti-hentinya mengucapkan rasa terimakasih padaku yang telah menyelamatkan nyawa suami, ayah, dan pamannya.
"Tuan, inilah yang kami punya. Makanlah," ucap Annela yang menyodorkan semangkuk buah strawberry hutan dan singkong bakar. Dia adalah anak sulung dari 3 bersaudara Tuan dan Nyonya Idris. Namun, hanya dia yang tersisa. Tuan Idris mengatakan bahwa mereka dibunuh pada saat dimana ibunya berulang tahun. Cukup menyedihkan, dimana Tuhan, ah. Aku bahkan sudah membenci nama itu. Dialah yang menurunkan mereka ke dunia ini. Sehingga semua orang termasuk keluarga kecil ini harus merasa kehilangan segalanya yang mereka punya.
Aku menyantap makanan yang disuguhkan. Aku tak tega jika harus menanyakan tentang mereka lebih jauh. Jadi aku lebih memilih diam sembari memakan singkong bakar di atas pohon sembari ditemani Annela yang tidak jauh dari gubuknya.
Kemudian Annela membuka percakapan diantara kami berdua.
"Apa kau sudah menikah?" ucapnya dengan tatapan yang terus kedepan.
"Uhukk..." awal percakapan yang bagus sehingga membuatku tersedak dan hampir terjatuh dari pohon.
"Ah, maaf, tuan," sesal Annela.
"Mungkin Yandra lebih baik daripada tuan,"
"Baiklah, Ya... Yandra,"
"Terdengar lebih baik. Aku belum menikah, hanya saja disaat aku akan mencari. Bencana ini datang,"
"Oohh..."
"Iya, mungkin aku tidak diperbolehkan melawan kudrat sehingga ia marah padaku dan menurunkan bencana ini,"
"Hahaha..." Annela hanya tertawa mendengar leluconku. Akupun juga terbawa suasana. Ternyata Ia terlihat begitu manis jika sedang tertawa ditambah angin yang berhembus lembut membuat rambut panjangnya mengibar apik.
Annela....
Siapa kamu?
Rasanya seperti aku 17 tahun yang lalu...
Bersambung...
No comments:
Post a Comment