Title : Aku, Dia, Dan Tuhan (Part 2)
-----------------------------------------
Bag 4: Annela
*****
"Yandra... Hey,"
"Ah.. Ada apa, Annela,"
"Kau melamun sambil menatapku," ucapnya "apa ada yang salah denganku?" lagi.
"Entahlah, Annela. Kamu begitu cantik. Apa karna aku tidak pernah bertemu wanita lain selain ibu dan bibi Shu?" ucapku dalam hati.
"Nah, kamu melamun lagi, kan?" sembari melambai-lambaikan tangannya didepan wajahku.
"Ah, maaf. Aku hanya terfikir, bagaimana adik dan seluruh anggota keluargaku. Apakah mereka baik-baik saja?" aku mengalihkan dugaannya yang mungkin sedang berfikiran aneh terhadapnya. Tapi benar juga, kenapa aku tidak pergi saja sekarang untuk mencari ibu dan yang lain?
"Kupikir, kamu sendirian," yang kemudian tertunduk lesu. Yang secara tidak langsung, aku mengurungkan niatku untuk pergi menemui ibu dan yang lainnya.
"Ah, kenapa kau bersedih?" tanyaku bingung.
"Tidak...hiks... Mataku terkena debu barusan,"
"Oh," padahal daritadi angin tidak berhembus terlalu kuat. Dan apakah kelilipan yang membuatnya terisak? Sangat konyol.
"Aku... aku akan disini beberapa hari," jujur, aku tidak tega. Mimik wajahnya kini berubah secara drastis.
"Apa itu benar?" tanyanya untuk meyakinkan.
"Yah," dengan melemparkan senyum padanya. Diapun begitu, membalas senyumanku.
Malam ini, kami berenam berkumpul melingkari api ungun. Benar dugaanmu, aku dan Annela duduk bersebelahan. Kita bercerita tentang hal yang kami anggap bahagia. Meskipun kebanyakan adalah masa lalu, yah, masa lalu.
Aku dan Tuan Idris saling berbalas pembicaraan. Dia membahas tentang lahan dan ternak yang dulu sempat ia punya, dan juga sebuah motor tua peninggalan ayahnya dulu yang selalu ia gunakan untuk membeli perlengkapan ladangnya. Akupun begitu. Meskipun aku menceritakan siapa diriku dan siapa anggota keluargaku dulu. Mereka hanya datar tak ada ekspresi kagum atau semacamnya, aku tidak heran karnanya, memang inilah kita sekarang. Sudah tidak punya lagi hal yang patut untuk dibanggakan apalagi disombongkan. Situasi ini membuat semua orang yang kau temui menjadi saudaramu. Terkecuali perampok sialan yang tidak tahu diri itu.
Aku juga sempat menceritakan korban perampokan itu pada Tuan Idris. Dia sangat serius mendengar ceritaku. Akupun begitu, menceritakan ini padanya secara detil. Hingga pada akhirnya aku tak menyadari bahwa Annela tidur dibahuku.
"Ah, maafkan anakku," ucap tuan Idris.
"Tidak masalah. Biarkan, dia terlihat sangat lelah," aku sedikit menyikap rambutnya agar tidak menghalagi wajah. Terlihat Tuan Idris tersenyum atas perlakuanku pada Annela.
"Aku harap. Kamu bisa menjaga Annela untuk kami. Karna dia satu-satunya yang sangat kami sayangi," sembari mendekap istrinya.
"Selama saya berada disini. Akan aku pastikan Annela dan kalian semua aman," aku percaya diri.
"Terimakasih, Yandra," ucap Betty istri dari Tuan Idris. Lalu nyonya Idris membangunkan Annela untuk masuk dan bergabung di dalam gubuk untuk tidur.
Kini aku dan Tuan Idris berjaga hingga pagi didepan. Memandangi langit yang bertabur penuh bintang. Indah rasanya karna tak ada awan sedikitpun disana yang menghalangi mereka berkedip. Hingga pada akhirnya kami menemukan satu bintang yang jatuh. Kulihat Tuan Idris memejamkan mata. Kurasa ia sedang memohon permintaan. Aku hanya tersenyum. Karena sepertinya, aku tahu isi dari doanya itu.
Getaran tanah secara tiba-tiba mulai terasa disertai suara bergemuruh. Akupun beranjak dan melompat meraih dahan pohon agar lebih mudah untuk mencoba menerawang dikegelapan malam. Suara itu berasal dari timur dan ada seperti cahaya yang bergerak-gerak sedang menggiring para Nun itu kemari.
"Cepat, bangunkan yang lain," titahku pada Tuan Idris. Yang lalu berlari tanpa menjawab. Kamipun bergegas berpindah ke tempat yang kiranya lebih aman. Dibawah komandoku kami bergerak ke arah yang berlawanan. Hingga pada akhirnya ada Nun yang muncul secara tiba-tiba dari tanah.
"Awas!" sebari melintangkan tangaku agar mereka berhenti. Lalu aku menembaknya tepat mengenai mata. Dia adalah Nun hijau. Pasti didalam sini juga ada beberapa yang lainnya. Setelah makhluk itu roboh, kami kembali berlari. Ternyata Nun itu kembali muncul dan menarik kaki dari keponakan tuan idris.
"Aaaa... Toloong!!!" pekiknya dan Nun itu langsung mematahkan kaki keponakan Tuan Idris dengan gigi tajamnya. Aku tidak tau siapa namanya, karna dia maupun yang lain tidak memperkenalkan namanya padaku. Aku berusaha untuk meraih tangannya bersamaan dengan nyonya Idris. Namun usaha kami gagal. Dia telah dimakan oleh mahluk itu, begitu juga Tuan idris dan keponakan yang satunya lagi. Istrinya berusaha untuk menolong dan kemudian tangan Nun yang baru muncul kepermukaan meraih kakinya juga. Ada 3 Nun yang baru menetas disini. Dan jumlahnya kembali bertambah 3 karna dia baru saja muncul. Teriakan yang memekakan telinga dari nyonnya dan tuan Idris yang menyayat hati. Karna keponakannya sudah dimakan habis, ditambah suara raungan Nun yang begitu menyeramkan.
"Cepat lari, Yandra!"
"Iya, tolong selamatkan putri kami," pinta mereka sembari menahan rasa sakit yang teramat sangat karna kaki dan tangannya kini sudah tidak bersama tubuhnya lagi. Mereka mengunyahnya!
Dengan berat hati akupun meninggalkan mereka dan menyeret Annela pergi dari sini.
"Ayah!! Ibu!!! Tidaakkkk!!!" pekik Annela yang kini tangannya aku genggam sembari berlari. Makhluk itu mengepung mereka dan memakannya. Kini suara mereka sudah tidak kami dengar lagi.
Kami berdua berhasil kabur dari terkaman makhkuk sialan itu, saat ini kami berhenti sejenak sembari bersembunyi disungai yang mengering, firasatku mengatakan, disini cukup aman. Aku kemudian berusaha untuk menenangkan Annela yang kini sedang terguncang hatinya. Karna harus melihat orang yang paling ia sayangi mati secara mengenaskan. Tepat dihadapannya.
"Sudah..."
"Bukannya kau telah berjanji akan menyelamatkan kami?" dia memotong ucapanku.
Aku diam.
"Mana janjimu? Aku bahkan harus melihat mereka mati didepanku?" bentak Annela.
Aku diam. Kemudian ia berlari untuk kembali kepada makhluk itu. Aku menahannya.
"Lepaskan! Biarkan aku mati!! LEPASKAN...!"
Yang kemudian aku menamparnya. Ini tidak terlalu keras jika aku menampar seorang pria.
"Jangan bertindak bodoh! Mereka menginginkan kamu untuk tetap hidup! Karna kamulah harapan satu-satunya!"
"Harapan apa, hah? Hidup didunia yang sudah rusak seperti ini? Apa harapannya? Apa bagusnyaaaa!!!"
"Tutup mulutmu!" dengan jati telunjuk yang mengarah pada wajahnya.
"Jadilah manusia kuat! Aku, kamu, dan yang lainnya juga akan mati! Itu pasti. Tapi, buatlah dirimu berguna meskipun kau harus mati juga!" tambahku lagi.
Dia pun terdiam. Dan mengusap air matanya. Dan kembali tenanang.
"Kita jalani ini bersama. Kau, dan aku," ucapku. Kemudian ia menatapku seraya berkata.
"Baiklah, kita cari keluargamu bersama," lalu kemudian ia memelukku erat.
"Maafkan aku... maafkan," ucapnya yang begitu dekat dengan telingaku hingga air matanya membasahi pundak. Aku canggung saat dia melakukan itu. Dengan ragu akupun meraih pinggulnya secara hati-hati.
"Terimakasih karna kau telah menyelamatkan aku," jawabnya di sela tangisan.
"Sssssstttttt... aku ada disini. Bersamamu," ucapku lirih.
*****
Matahari kembali menampakkan dirinya dan membangunkanku yang tertidur di akar pohon besar. Kulihat disampingku dia sudah tidak ada dan membuat aku panik.
"Annela?? Dimana kamu?"
"Aku disini. Kau sudah bangun?" jawabnya. Ternyata dia ada dibalik pohon ini. Ia menatapku dengan senyuman hangatnya. Aku kemudian menghampirinya dan mengecup lembut kening Annela.
"Apa kita akan pergi sekarang?" tanyanya yang sembari menggenggam tanganku.
"Yah, kita cari mereka sekarang,"
"Maksudmu ayah dan ibumu?"
"Mereka juga anggota keluargamu sekarang," aku kembali mengecup keningnya lagi. Dia hanya tersenyum.
Kami berdua berjalan bersama. Cukup lama hinggap pada akhirnya aku menemukan bangkai Nun yang berhasil aku bunuh kemarin. Akupun mencoba mengingat-ingat jalan mana saja yang telah aku lewati. Hingga pada akhirnya aku menemukan gua yang terlihat cukup jauh dari sini, tepatnya dari atas pohon yang paling tinggi disekitar sini
"Itu dia!" ucapku gembira.
"Apa benar?" teriak Annela dari bawah.
"Yah, aku sangat yakin," lalu aku turun dan kemudian berlari menuju gua itu. Akupun tidak melupakan Annela, karna tangannya akan selalu berada digenggamanku.
"Padahal tidak terlalu jauh, kenapa kau bisa lupa?" ucapnya sembari mengimbangi langkah cepatku.
"Hehehe... Kepanikan yang membuatku menjadi lupa," jawabku yang juga masih berlari.
Tak lama, kini kami berada dimulut goa. Mencoba untuk menghela nafas dan setelahnya aku bergegas masuk kedalam. Namun, pada akhirnya aku tidak menemukan mereka. Aku terkejut karna harus menemukan bercak darah yang mengering disini. Tidak... Jangan...
"Ayo keluar dan kita cari ke atas," kini aku tak menggengamnya lagi. Sekarang aku sangat panik.
Akupun keluar dan kembali berlari untuk mencari mereka. Dengan mendaki bukit ini.
Dimana kalian...
Apakah...
Maafkan aku...
Tidak...
Jangan...
"Tenangjan dirimu, Yandra,"
"Baiklah,"
"Kau sudah bilang jika kita akan mencarinya bersama, kan?"
"Kau benar, terimakasih, Annela,"
Annela menemukan sebuah jejak sepatu. Aku sangat ceroboh sehingga tidak menyadari ini. Kami mengikuti jejaknya. Hingga jejak itu kini hilang di padang rumput yang luas.
Dimana mereka?
Tunggulah aku, aku pasti menemukan kalian. Karna ada seseorang yang membantuku disini.
Ibu. Dia adalah Annela. Sepertinya aku yakin bahwa dia adalah masa lakuku. Masa-masa bahagiaku.
Bersambung...
Bag 5 : PREPARE
Kami berjalan menyusuri padang yang luas. Hanya hamparan rumput hijau dengan tanpa adanya pepohonan disekitarnya. Sudah pasti ini adalah tempat yang sangat berbahaya. Jika seandainya Nun putih ada disini. Bagaimana aku bisa berlari dan apa yang akan menahan lajunya? Aku sangat payah jika dalam kepanikan.
Entah berapa lama aku harus terus mencari keberadaan mereka. Sejauh ini sudah lebih dari 2 bulan kami telah menyusuri setiap hutan, goa, sungai, danau, dan bahkan kami harus bertaruh nyawa saat pergi ke alun-alun kota. Dimana keberadaan mereka dapat dengan mudah kami lihat. Iya, mereka para Nun berlalu-lalang dan seperti membuat sarang juga disana. Kau mungkin bisa menggambarkan sarang berang-berang yang menyumbat aliran sungai? Seperti itulah sarangnya. Namun bukan ranting yang ia pakai. Melainkan pohon-pohon besar yang biasa berjajar di trotoar. Tak banyak mereka yang pergi ke hutan, selain juga untuk mencabuti pepohonan. Mereka pun mencari makan dengan memakan hewan-hewan yang bisa mereka temui. Mungkin dimatanya manusia juga tidak lebih dari itu? Hanya sebagai makanan saja.
Dan kami berdua terjebak di atap sebuah mall yang telah usang. Meskipun kami masih bisa menemukan pendingin yang masih bisa berfungsi dan ada banyak makanan didalamnya. Namun kami tidak pernah bisa merasa tenang seperti malam itu, di tengah hutan, meskipun kami hanya memakan makanan alakadarnya.
Seandainya ada Giandra disini. Dia pasti memiliki cara agar kami bisa keluar dari tempat ini, dia adalah pengawal yang cerdik meskipun agak sedikit penakut. Namun kejeliannya dalam melihat celah dalam situasi segenting apapun, dia pasti akan menemukan jalan kekuarnya.
Insting makhluk ini sangatlah kuat. Meskipun keberadaan kami tidak mereka ketahui, tapi mereka seperti terbawa kemari dan kin sedang membuat sarang dibawah. Tepat di area mall tempat aku dan Annela berlindung.
Saat ini aku masih berkutat dengan menggambarkan sebuah rencana diatas lantai atap gedung menggunakan spidol. Dan sudah banyak juga pola yang aku coret karna kurang begitu yakin dengan rancanganku sendiri. Ini bukan hanya untuk keselamatanku, melainkan Annela juga yang kini sedang tertudur dibelakangku. Aku dapat dengan mudah berlari dan memperlambat lajunya dengan satu atau dua tembakan pada mereka. Tapi Annela tidak bisa berlari secepat itu, ditambah kakinya yang sempat terluka karna menginjak pecahan kaca yang menembus permukaan sepatunya hingga membuat telapak kakinya robek.
Aku menatapnya dengan tatapan haru. Selain keluarganya yang kini sudah tiada, kini harus menghadapi kejamnya kehidupan ini sendirian. Tidak, dia bersamaku sekarang dan aku tak ingin jika harus melihatnya mati. Karna aku sudah sangat menyayanginya.
Tiba-tiba saja aku seakan mendegar derap langkah dari bawah, aku yakin, itu bukan Nun. Itu seperti suara hentakan sepatu diatas lantai.
"Annela, bangunlah," dengan menepuk-nepuk lengannya.
"Ada apa?"
"Apa kau mendengarnya?" kami pun terdiam sejenak.
"Astaga, siapa disana?"
"Sssttt... Tetap dibelakangku. Ayo kita turun,"
"Baiklah." lalu aku membatunya untuk bangun.
Kami berjalan dengan sangat hati-hati saat menuruni tangga berusaha untuk tidak membuat semacam suara. Dengan revolver yang aku genggam dan mata yang terus menerawang kepenjuru arah. Akhirnya kami tiba di ujung dinding toko pakaian, aku hendak mengintip dari sudut ini. Karna semua ruangan yang terbuat dari kaca, aku bisa dengan mudah melihat 10 orang berkulit hitam yang hendak menuju tangga eskalator yang sudah tidak berfungsi. Disaat mereka sudah tidak berada di jangkauan pandanganku lagi, aku menyuruh Annela untuk mengikutiku. Hingga pada akhirnya kami berhasil kelantai dasar melalui tangga eskalator yang lain tanpa diketahui oleh mereka.
"Lalu, apalagi?" tanya Annela yang kini menahan rasa sakit yang sepertinya semakin parah.
"Kita ke pergi ketempat parkir," jawabku.
"Apa kau bisa menahannya sebentar lagi?" tanyaku khawatir.
"Bisa. Tapi, pelan-pelan," jawabnya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya. Lalu kemudian ia menamparku.
"Aduhh,"
"Bisakah kau menyingkirkan pandanganmu itu? Bukankah kita harus lari?" ucapnya kesal.
"Iya, baiklah. Maaf," lalu aku membopongnya menuju pintu keluar tempat parkir.
Kami berjalan mengendap agar para Nun itu tidak menyadari keberadaan kami. Namun, karna mataku yang hanya menerawang jauh ke semua arah dan tanpa memperhatikan sebuah kaleng minuman yang secara tidak sengaja aku tendang.
Trang....
Ggggrrroooaarrrr!!!
"Astaga!" jantungku mulai terpacu lebih cepat.
Kini keberadaan kami diketahui oleh Nun biru si pemberi signal. Dan tidak lama Nun merah berusaha untuk merangkak masuk ke tempat parkir yang mungkin terasa sempit baginya. Tangan kanan merah besar itu berusaha untuk mencengkram kami. Aku berlari sekuat tenaga hingga pintu keluar, dan disana ada Nun ungu yang sudah menunggu kedatangan kami
"Sial," ucapku, Annela pun meminta agar aku turunkan. Nun itu seperti sedang mengulum sesuatu, dan aku yakin itu adalah pelurunya. Pada saat ia mebembak, aku dan Annela melompat ke arah yang berlawanan. Dan tembakan itu melesat tajam ke arah Nun merah yang sedari tadi merangkak dibelakang kami hingga tewas seketika tanpa adanya raungan. Ia menahan tembakan menggunakan kepalanya sehingga membuatnya merangsek masuk kedalam tubuhnya.
Nun itu kini bersiap untuk menembak kembali, namu sasarannya adalan Annela. Akupun berusaha bangkit dan berlari sekuat tenaga untuk menghampirinya, lalu mendorongnya menjauh dari situ. Sekarang aku hanya bisa memejamkan mata karna langkahku sudah mati. Mungkin ini adalah akhir dari kehidupanku, rasanya maut sudah ada didepan mata.
Maafkan aku tuan Idris...
DORR...!!!
Bruukkk...!!!
"Hey," ucap seorang pemuda itu kepadaku.
"Hah? Akupikir aku sudah mati," jawabku
"Kau bisa merengek dibelakangku sekarang jika kau mau, dan biarkan aku yang menghabisi semua monster ini," jawabannya sangat percaya diri.
Makhluk itu kini sudah tak berdaya. Tewas dengan lubang menganga di keningnya. Aku kesal disaat ia harus mengatakan itu padaku. Karna dia mengatakan itu didepan Annela juga.
"Yandra!!. Ya Tuhan, syukurlah kau selamat!" ucap seseorang wanita. Suaranya sangat familiar ditelingaku. Ternyata itu adalah ibuku, namun dengan kulit yang hitam dan baunya yang kurang sedap. Tapi itu semua aku abaikan karna tak sebanding dengan rasa bahagia yang teramat sangat. Aku menangis, tersedu dipelukan ibu. Aku sekarang sudah tidak peduli pada pemuda sialan itu dan Annela. Aku bahagia karna bisa bertemu kembali dengan ibuku. Lalu aku melepas pelukannya dan mencoba untuk berdiri.
Byur...
"Apa ini?" tanyaku yang terkejut karna sesuatu yang kental, amis dan berwarna merah membasahi tubuhku. Dan ini adalah ulah pemuda sialan itu.
"Hey jangan!!" teriakku lagi, karna ia juga menyiram Annela.
"Bangunlah, dan diam jangan mengeluarkan suara," pinta ibuku. Akupun menurut. Tapi, sepertinya ibu sedang menahan tawa.
Nun itu kini berdatangan dengan raungan kemarahan mereka. Karna ada suara bising yang mungkin sangat mengganggu tidur siangnya. Kuning, hijau, ungu, merah, bahkan aku juga melihat yang berwarna violet datang dan mendekatkan wajahnya ke arah kami lalu mengendus. Tubuhnya sungguh berbeda dari semua Nun disini. Dan untungnya dia hanya ada satu. Simbol Nun berwarna violet yang ada dikeningnya benar-benar memancarkan cahaya. Pertama kalinya aku melihat dia dan ini dari jarak dekat, sangat dekat. Jadi, apakah dia yang aku lihat malam itu? Malam dimana semua anggota keluarga Annela mati? Marah. Yah, tangaku gatal rasanya untuk segera menarik pelatuk revolver ini tepat mengenai keningnya, namun ditahan oleh ibu dengan menggeleng kepalanya perlahan.
Mereka seperti tidak mengetahui keberadaan kami yang nyatanya ada didepan mereka semua. Lalu Nun violet seakan mengkomando mereka untuk pergi dari sini. Tak lupa, salah dua diantara mereka membawa bangkai koloninya. Setelah jauh, kami bisa bernafas lega.
"Syukurlah, aku bisa selamat." begitu juga Annela.
"Ayo semua, kita masuk kedalam," ajak seorang pria yang tak asing juga bagiku. Ya, selain aku bisa bertemu dengan Bibi Shu, Ayah, Ibu, Giandra, dan yang lain ditambah 3 orang yang mungkin sudah bersama mereka sejak aku tersesat kala itu. Tapi aku sungguh terkejut jika harus bertemu dengan pahlawan kami yang satu ini.
"Gibran? Kau masih hidup?" tanyaku bahagia. Namun dia hanya tersenyum padaku dan mengisyaratkan agar kami kembali masuk kedalam.
"Bagaimana kau bisa selamat?" tanyaku kagum padanya.
"Apakah kau membunuh mereka berdua sendirian?" tambahku lagi.
"Cara inilah aku bisa selamat," jawab gibran.
"Ya, dia dan teman barunya ini yang membatu kami dari kejaran para Nun kala itu," kata adikku cendric.
"Apa itu di goa? Aku menemukan bercak darah disana," tanya Annela.
"Aku lupa. Dia Annela, aku bertemu dengannya saat aku tersesat waktu itu," aku sedikit memotong pembicaraan.
"Iya, kami juga panik pada saat kau tak ada, kemana saja kamu?" tanya Ayah.
"Dia hendak menolong ayahku, Tuan" jawab Annela.
"Dia adalah Ayahku," aku memotongnya lagi. Kulihat mereka tersenyum kepadaku.
"Kau sudah besar rupanya, tuan Yandra," ucap bibi Shu.
"Ah, hahahahaha..." kami semua tertawa.
Pada malamnya kami semua kembali berkumpul di lantai 2 mall sembari memakan makanan kaleng yang kami dapatkan disini. Kami semua membicarakan soal Nun bersama salah satu anggota keluarga baru kami yang bisa meramal masa depan. Dia mengatakan bahwa ini akan segera berakhir dengan adanya bantuan dari langit.
"Kapan bantuan itu datang?" aku memotong penjelasannya yang belum selesai.
"Dia akan datang besok tengah malam." jawab Indra yang seorang peramal itu.
"Dimana?" tanyaku lagi.
"Sayangnya tempat itu di alun-alun kota, dan manusia harus menyentuh kepalanya terlebih dahulu agar ia mengenali kita dan membantu menyelamatkan kehidupan umat manusia nantinya. Namun jika Nun yang menyentuhnya, habislah kita. Karna dia akan menjadi 100x lipat lebih kuat daripada Nun itu sendiri." jelasnya. Bagaimana kami bisa kesana? Itu sangatlah sulit, karna kami juga tau bahwa itu adalah pusat dari keberadaan mereka.
"Itu hal mudah," potong Giandra yang lalu melanjutkan penjelasan tentang rencana yang dia rancang. Kami semua mendengar ucapannya dengan seksama. Dan kami semua sepakat akan hal itu. Karna rencana ini akan memakan banyak peluru, tapi itu sudah terpenuhi karna Gibran dan kawan-kawannya membawa banyak peluru dan beberapa senapan. Sehingga tak ada lagi yang tidak memegang senjata. Meskipun hanya revolver biasa sama sepertiku. Namun aku diberikan tambahan berupa sebuah shotgun dari Gibran agar aku bisa melindungi permaisuriku.
"Pegang juga ini," tambah gibran. Ia memberku 2 buah granat untuk aku bawa.
"Karna melindungi permaisuri harus dengan persenjataan yang lengkap, bukan?," tambahnya lagi. Aku dan Annela tersenyum malu-malu di hadapan mereka.
Pagi sudah kembali menyingsing. Kami semua bisa beristirahat dengan damai karna mereka semua sudah mengenali kami seperti koloninya. Benar kata Gibran. Mereka hanya mengandalkan penciuman. Meskipun matanya bisa melihat, namun hanya sebatas gambaran suhu saja. Layaknya ular.
Kami semua bergerak menuju alun-alun kota untuk menjemput makhluk entah apa yang akan turun dari langit dan bisa membantu kita semua.
Entah lah...
Bersambung...
Bag 6: Awal Yang Buruk.
Sumber gambar : Pinterest
Ditengah perjalanan menuju alun-alun kota akan cukup memakan waktu lama. Jaraknya tidak akan begitu jauh jika ditempuh menggunakan kendaraan. Namun bisa berjam-jam jika dengan berjalan kaki. Agar tidak jenuh dan sedikit melupakan lelah saat diperjalanan, aku menceritakan sedikit cerita saat tersesat dan bisa bertemu dengan Annela. Tapi pembicaraan Louise lebih menarik daripada aku dan mereka semua lebih memperhatikan louis daripada aku. Ya, dialah yang menyiramkan cairan kental merah menjijikan yang baru aku ketahui jika itu adalah darah dari Nun ungu yang ia bunuh kemarin.
Namun, satu di antara mereka yang bernama Ahmed tidak pernah mengucapkan sepatah katapun sampai detik ini juga. Aku baru saja mengetahui bahwa ia itu bisu. Dia seperti itu karna pada saat ia masih kanak-kanak, ia harus menelan bara panas yang diberikan paksa kepadanya. Dahulu dia sangatlah miskin. Ditambah lagi kedua orang tuanya yang sedang sakit parah. Jadi, dialah yang harus mencari nafkah untuk menghidupi mereka berdua. Padahal disaat seumurannya aku hanya anak kecil yang nakal dan bermain keluar rumah tanpa pengawasan dari pengasuh dan pengawalku, yang pada akhirnya aku bisa menemukan Annela kala itu.
Jadi, seseorang yang memaksanya untuk menelan bara api adalah seorang rentenir kejam sembari membawa 3 anak buahnya untuk menagih hutang kepada keluarga Ahmed. Mereka mengancam akan membunuh kedua orang tuanya jika ia tak melakukan apa yang mereka perintahkan sebagai hukumannya. Dengan terpaksa ia harus merasakan panas bara api ditenggorokannya yang seketika membuat seisi mulutnya melepuh, juga pita suaranya menjadi rusak dan sulit untuk diobati lagi. Namun, pada akhirnya ia harus melihat kedua orang tuanya mati ditembak oleh rentenir itu. Setelahnya sang rentenir itu mengatakan bahwa hutangnya kini sudah lunas lalu meninggalkan Ahmed yang menangis tanpa suara sembari memeluk kedua orang tuanya yang sudah tidak bernyawa lagi. Itu adalah kenangan yang amat sangat pahit dan paling menyedihkan yang pernah aku dengar. Dia menuliskan kisahnya pada kami di atas kertas yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi yang ia gunakan untuk berkomunikasi jika lawan bicaranya tidak mengerti bahasa isyarat. Tapi, dia juga bersyukur karna bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri disaat mereka harus mati ditangan Nun dengan cara yang sangat mengenaskan. Begitu juga dengan para ajudannya yang dimakan habis oleh Nun itu.
Akhirnya kami semua tiba di alun-alun kota. Kami disambut oleh puluhan bahkan ratusan tumpukan pohon-pohon besar. Yang kami tahu itu adalah sarangnya. Akupun melihat ada diantara mereka yang sedang mengunyah kepala manusia dan benerapa rusa utuh layaknya kudapan. Pemandangan yang cukup mengerikan. Meskipun mereka tidak menghiraukan kami sehingga kami merasa aman. Tapi, aku berkhayal seakan-akan akulah yang akan mereka makan. Atau mungkin ibu, atau ayah, atau Cendric? Jangan sampai itu terjadi.
"Dimana ia akan datang?" tanya ayahku pada Indra.
"Dia akan datang ditempat yang terdapat genangan air," jawabnya.
"Dimana itu?"
"Entahlah, tiba-tiba aku tidak bisa menerawang lagi,"
"Tunggu, kenapa Nun itu?" tanya Giandra yang lalu menunjuk Nun berwarna Biru dan violet
"Astaga, aku sangat teledor. Nun biru dan violet sangat peka dengan aura magis," Indra menjelaskan alasan mereka yang kini tampak gelisah.
"Sebaiknya kau hentikan aktifitasmu dan diam. Nun merah mendekat kemari," ucap Cendric. Kami semua dihampiri oleh beberapa Nun sembari mengendus-endus. Tak hanya satu atau dua, semakin lama mereka bertambah dan mengerubungi kami semua.
"Tamatlah kita," ungkap ku dalam hati. Nafasnya sangatlah bau bahkan lebih parah dari bangkai manusia yang sudah berhari-hari membusuk dirawa-rawa. Aku menoleh kebelakang, sepertinya bibi Shu akan muntah.
"Tahan bibi. Kumohon," bisikku padanya yang kebetulan ia berada dibelakangku.
"Maaf tuan, ini sangat bau. Tapi aku akan usahakan," bisiknya.
Tak lama, setelah itu terdengar Nun violet meraung untuk menyuruh mereka semua bubar. Fyuh.. Untunglah, setelah mereka kembali ke posisinya semula, kami bisa teruskan untuk berjalan.
"Disana ada sebuah toko roti, mari kita kesana," ucap Gibran, dan kami semua menuju tempat itu yang dirasa aman karna bangunannya terlihat sangat kokoh dengan dua pilar yang ada dibagian pintu masuk. Toko ini memang sangatlah besar karna dulunya, tempat inilah yang kami tuju jika salah satu diantara kami ada yang berulang tahun. Tapi itu dulu, sekarang bangunan ini sudah tak berpenghuni lagi. Mungkin pemiliknya sudah lama mati.
Sesampainya kami didalam toko, aku memiliki usul agar ibu, Cendric, dan bibi Shu untuk tidak ikut pada saat nanti malam. Begitu juga denga Annela.
"Tidak, Yandra. Aku ingin ikut," sembari sedikit merengek.
"Kau disini bersama mereka. Lagipula kakimu juga masih belum pulih bukan?"
"Benar kata Yandra. Kau tetap disini, dan jaga istriku," ucap ayah memohon. Dia tak bisa menolak permintaan ayah. Dan sepertinya ia juga senang. Menjaga calon mama mertuanya. Hahaha... Aku tertawa dalam hati.
"Tapi, kemungkinan nanti malam akan sangat berbahaya. Mereka semua akan mengamuk bukan?" ucap Yoda.
"Benar!" sahut Aruna.
"Hmm... Apa boleh buat, kalian harus kembali ke tempat yang jauh dari sini," ucap Giandra.
"Tapi, harus ada diantara kami yang pergi bersama mereka bukan?" tanyaku yang kemudian mereka saling melirik satu sama lain. Kemudian Ahmed maju dan mendekat padaku lalu menepuk dadanya mengisyaratkan bahwa dia yang akan menjaga mereka. Kami semua pun sepakat. Lalu Gibran memberikan tambahan peluru revolver dan beberapa butir peluru shotgun.
"Baiklah, kalian semua bergegas. Dan Ahmed. Aku percayakan ini semua padamu. Jaga mereka baik-baik," ucap ku padanya, kemudian dibalas Ahmed dengan anggukan kepala. Ayah lalu menghampiri ibu lalu memeluknya.
"Kau harus selamat ya, sayang," ucap ibu yang kini didalam dekapan ayah.
"Iya, kami akan bawa kemenangan. Doakan kami," yang lalu melepas pelukannya dan mengantarkan mereka kedepan halaman toko. Kami semua masih berada didepan untuk melihat mereka dan memastikan bahwa mereka berjalan sampai keluar dari sarang Nun ini dengan tanpa adanya gangguan apapun.
***
Malam pun kini tlah tiba. Udara terasa sangat dingin, dikarnakan hembusan angin yang terasa lebih kencang dari biasanya. Ditambah suara raungan dari Nun itu seakan menambah kengerian.
Indra mengisyaratkan bahwa sebentar lagi adalah waktunya. Lalu kami semua bergegas untuk melancarkan misi yang sudah kami rancang sebelumnya. Benar perkiraan Indra, mereka semua sedang berkumpul dan mengitari sesuatu. Kami semua masing-masing naik ke atas sarang Nun untuk melihat situasi. Mereka semua seakan menyadari akan datangnya suatu makhluk yang akan segera datang. Sehingga semua sarang yang kami pijak, kosong tak berpenghuni. Dari atas sini aku berhasil menemukan kubangan air yang memantulkan bayangan bulan, namun mereka semua mengitari kubangan itu.
Apakah itu tempatnya? Dan apakah cara ini akan berhasil? Semoga saja.
"Tuhan, aku akan mulai percaya padamu jika kami berhasil mendapatkannya. Jagalah kami. Agar kami selamat, dan mendapatkannya," ucapku dalam hati.
Aku menatap Gibran dan mengangguk padanya. Ia paham dengan maksudku. Lalu ia menembak salah satu Nun yang berwarna violet menggunakan knight armament dari kejauhan. Kemudian makhluk itu rubuh dan membuat mereka semua meraung mencari keberadaan kami. Lingkarannya mulai terberai, dan kini mereka mengobrak-abrik sarangnya yang mungkin mereka kira kami ada disana. Lalu kami semua turun dan berlari kearah kerumunan Nun. Ku arahkan shotgun ku ke arah kepala Nun putih dan mebembaknya.
"Akhirnya ambruk juga," ucapku. Namun aku tak menyadari bahwa Nun merah sudah tepat dibelakangku. Kemudian ia mengangkat tangan kanannya berdiap untuk menumbuk tubuhku.
Dor...
"Sebaiknya kau hati-hati," ucap Louis setelah berhasil membunuh Nun merah. Lalu kembali berlari dan menembaki mereka hingga roboh.
Aku melihat cahaya berwarna kuning yang terlihat seperti turun secara perlahan dari atas langit.
"Itu dia!" teriakku pada Indra. Yang lalu ia berada diposisinya dan kami semua membukakan jalan untuknya berlari dengan menembaki para Nun itu. Namun, Nun violet yang berada di hadapan Indra sudah siap untuk menembak. Kami semua merunduk pada saat peluru besar dan hitam itu melesat diatas kepala kami. Tembakan itu sangatlah besar dan cepat, sehingga puluhan Nun terpental cukup jauh dan langsung mati.
Aku mengambil kesempatan ini untuk berlari menghampirinya selagi ia sedang sibuk menyiapkan pelurunya lagi. Aku melompati bangkai Nun Hijau dan melambung cukup tinggi, sehingga aku kini berada sejajar dan tepat didepan kepalanya.
Dorrr...
"Gocha!" aku berhasil melubangi keningnya dan membuatnya ambruk.
"Lari Indra!!!" teriakku padanya. Yang kemudia ia bangkit dan melanjutkan larinya. Ia lalu membasuh tangannya dengan air yang dibawanya menggunakan botol. Cahaya itu kini sangat terang dan sepertinya aku melihat seseorang disana, namun tubuhnya lebih besar dari ukuran manusia pada umumnya.
Namun langkah Indra kembali terhenti oleh Nun Violet yang menghadangnya lagi. Namun ia tak sendiri, ia dibantu oleh Nun biru dan Merah, yang kemudian berlari untuk menerjang Indra sembari dibantu tembakan dari Nun Violet. Untungnya dia bisa menhindar dengan menjatuhkan tubuhnya sehingga ia bisa meluncur diantara kaki Nun merah.
"Teruslah berlari, aku dan Yoda yang akan melindungimu," jawab Aruna. Lalu ia mengarahkan senjatanya pada Nun biru, namun berhasil ditangkis oleh Nun violet. Mereka berhasil mengalihkan perhatiannya hingga Indra sudah dekat pada kubangan air yang mulai bercahaya lebih terang lagi.
Pada saat ia akan menyentuh makhluk itu dengan tangan yang sudah ia basuh dan bersih dari darah Nun. Ia terkena hantaman tangan Nun biru yang langsung membuatnya terpental dan tak sadarkan diri.
"Indra!" teriak Louis dan langsung segera menerjang Nun itu dan mengayunkan parangnya yang hanya mengenai tanduknya saja. Kemudian Nun itu membalas mengahantam Louis dengan tangan kerasnya hingga terpental dan juga jatuh pingsan.
"Dasar ceroboh!" gerutuku yang lalu kami semua segera berlari untuk menolong mereka. Aku yakin ini akan gagal. Dasar bodoh!
Kini keadaan berbalik, kami semua berdiri membelakangi Louis dan Indra yang sedang terbaring tak sasarkan diri. Begitu juga kami yang sekarang mulai terkepung oleh para Nun.
Tuhan... KAU PEMBOHONG!
Dor... Dor... Dor...
Terdengar suara tembakan dari belakang kami dan berhasil menjatuhkan beberapa dari mereka yang sedang mengerubuni kami.
"Serbuuuuu...!!!!" terdengar dari belakang kami seruan banyak orang. Kami tertegun saat mendengar mereka dan menghampiri kami yang sedang tersudut. Mereka berhasil memberikan celah sehingga kami bisa berhasil keluar untuk pergi dari kerumunan mereka. 4 orang lalu membopong Louis dan Indra, dan yang lainnya terus menerus menembaki mereka agar menjauh.
"Tunggu, apakah itu dia?" tanyaku pada Ayah.
"Sepertinya Ia, tapi siapa yang berhasil menyentuhnya?" ayah berbalik bertanya padaku. Lalu manusia raksasa itu menghampiri kami berdua. Aku dan ayah segera mengokang shotgun dan mengarahkan moncongnya pada manusia besar itu. Kami khawatir bahwa Nun lah yang berhasil lebih dulu menyentuh kepalanya.
"Tunggu, aku ditugaskan untuk melindungi kalian," ucapnya. Dia benar-benar seperti manusia, namun ia memiliki tubuh kekar dan tinggi sekitar 3-4 meter sembari memegang sebuah katana yang ukurannya sesar pula. Akupun melihat tulisan yang menyerupai huruf Ta dikeningnya. Dan sepertinya simbol-simbol ini memiliki arti. Tapi, aku adih tidak tau.
Kemudian tangan berasnya mengangkay kami berdua ke pundaknya. Dan raksasa ini berlari menjauh dari para Nun. Orang-orang pun juga berlari mengikuti kami.
Setibanya kami ditempat yang entah dimana bersama semua orang yang tadi membantu kami untuk melarikan diri. Ada puluhan orang disini dan semuanya adalah laki-laki. Kami berdua diturunkan dari pundaknya dan disambut oleh Aruna, Yoda, Giandra, dan Gibran dengan disertai ucapan syukur.
"Tunggu, siapa namamu?" tanyaku pada raksasa itu.
"Aku adalah... entahlah. Aku tidak tahu," jawabnya lugu dengan menengadahkan kedua tangannya kesamping.
"Apa aku bisa memanggilmu Ta?" tanyaku lagi
"Apapun, kau bisa panggil aku apapun," jawabnya gembira,
"Tapi, siapa yang membangkitkanmu?" tanya Giandra.
"Seorang wanita, dan dia berpesan untuk melindungi Yandra dan ayahnya," jawab Ta.
"Siapa dia?" tanyaku padanya. Yang lalu seseorang memanggilku.
"Dia disini," lalu aku berlari padanya. Dan sungguh bagaikan petir yang menyambar kepalaku setelah aku mengetahui bahwa dia adalah Annela.
"Astaga!! Kenapa? Bukannya kau bersama ibu?" tanyaku yang lalu memeluknya. Dan aku menemukan banyak sekali darah yang keluar dari perutnya yang berlubang. Dia hanya tersenyum kepadaku dengan bibirnya yang kini memucat dan tak semerah biasanya.
"Dia berusaha untuk menyentuh kepalanya. Setelah berhasil, dia tertusuk oleh jari Nun yang membuntutinya dari belakang. Dan setelah itu, Nun yang membunuhnya dibunuh oleh, Ta. Begitu juga dengan 20 Nun lainnya," ucap seorang pria bertopi coklat yang memberikan kesaksiannya.
"Aku kabur," Annela menjawab pertanyaanku sebelumnya.
"Kenapa?" tanyaku yang sedikit membentak. Air mataku jatuh sekarang, sudah tak mampu lagi aku bendung.
"Aku khawatir padamu,"
"Tapi... kumohon bertahan lah," dia hanya kembali tersenyum kepadaku.
"Trimakasih, Yandra. Sudah memberikanku kenangan yang indah saat ada dibelakangmu," ucapnya yang kini semakin terdengar melemah. Aku terus memegang tangannya berharap agar ia tak meninggalkanku.
"Tapi, aku bukankah dirinya, Yandra."
"Apa maksudmu?"
"Permen yang selalu kau bawa itu bukanlah pemberianku," ucapannya membuatku tertegun sejenak. Lalu ia kembali melanjutkan.
"Temukan dia, Yandra. Dia adalah jodohmu yang sebenarnya,"
"Tidak.. Itu adalah kau, aku yakin itu,"
"Bukan, Yandra. Belajarlah untuk menerima kenyataan. Dan maaf aku baru mengatakan ini, karna aku takut kau akan meninggalkanku,"
"Tidak, Annela. Aku sangat mencintaimu. Percayalah,"
"Aku tau, aku tau, aku.... tau.... te.... rima... kasih," ucapnya yang kemudian pandangannya berubah menjadi tatapan kosong yang menatap mataku.
"Jangan... jangann... Annelaa!!!!" tangisanku pecah dan ayah menghampiriku dan berusaha untuk menenangkanku.
"Sudah, Yandra. Ikhlaskan,"
"Tidak ayah... jangan kau mengatakan itu. Seseorang tolong dia, dia masih hidup, kan? Iya kan Gibran? Hah?" namun Gibran hanya tertunduk lesu saat aku menatapnya. Begitu juga orang-orang yang ada disekitarku. Dan aku melihat beberapa di antara mereka menurunkan topinya untuk memberikan penghormatan pada Annela yang berhasil membangkitkan Ta yang nantinya akan membantu kami semua. Ayah dan Aruna berusaha untuk melepaskan pelukanku daru Annela yang kini sudah tidak bernyawa lagi. Aku moronta dan hendak menembak siapapun yang akan memisahkan aku dengannya. Namun, Gibran memukul tengkukku dari belakang sehingga akupun tak sadarkan diri.
"Maaf, Tuan." ucapnya yang masih sempat aku dengar.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment