Pages

Sunday, 16 September 2018

Title : Me, Her, and God (part 3 Ending)


Title : Me, Her, and God (part 3 Ending)
-----------------------------

Bag 7: Aku tak peduli.

"Apa mau lebih tinggi lagi?"
"Hahaha, lagi! Lebih tinggi!"
"Oke, pegangan yang kuat!" dengan sekuat tenaga aku mendorong ayunannya.
"Aaaa... cukup! Aku takut!"
"Barusan kau bilang?"
"Stoooppp!!!" ia berteriak kepadaku. Sepertinya ia marah. Lalu aku menahan laju ayunannya sehingga aku terseret dan sandalku putus.




"Tuh, kan putus,"
"Hahahaha..."
"Kamu malah tertawa," ucapku kesal padanya. Lalu ia membalikkan badannya dan memandangku. Wajahnya begitu cerah, bahkan lebih cerah dari matahari senja yang ada tepat dibelakangnya.
"Kamu cantik, Annela," ucapku padanya. Ia hanya tersenyum padaku dengan tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Lalu ia beranjak dari ayunan itu, dan hendak berlari pergi meninggalkanku.
"Hey, tunggu!" kemudian aku mengejarnya. Setelah beberapa saat, ia pun terpaku dan tetap masih membelakangiku.
"Kau tak boleh mengejarku, Yandra,"
"Kenapa?"
"Lihatlah gadis itu," ia menunjuk pada seorang gadis kecil yang sedang terduduk sendirian diatas ayunan. Dan menatapku sedih.
"Dialah yang harus kau kejar," tambahnya.
"Tapi... Astaga... Annela, kau berdarah!" aku terkejut karna dari belakang punggungnya mengeluarkan banyak darah kental nan hitam. Yang lalu ia membalikkan badannya lalu menatapku dengan kedua bola matanya yang juga mengeluarkan darah.
"Kejarlah dia, dapatkan dia, berikan dia cintamu," ucapnya yang lalu ia terjatuh. Belum sempat ia menyentuh tanah, dia sudah berada dipangkuanku.
"Hey, astaga. Kenapa perutmu berlubang?" ia tak bergeming dengan tetap menatap dalam mataku. Lalu aku melihat tubuhnya berubah bagaikan debu yang musnah secara perlahan akibat terkena tiupan angin.
"Dia ada disini," kata-kata terakhirnya yang aku dengar.
"Annelaaaaa!!!" aku terbangun dari mimpi. Badanku basah dipenuhi oleh keringat.
"Yandra, kau sudah sadar?" ibuku masuk kedalam kamar.
"Dimana aku,"
"Kau berada di asrama gereja sayang," aku seakan melupakan seseorang.
"Dimana dia?" ucapku sembari membentak ibuku.
"Yandra, sudah."
"Dimana dia, bu?"
"Ikhlaskan dia, sayang." sembari mengusapi keringatku yang bercampur dengan air mata. Ia pun tak bisa menahan air matanya untuk tidak jatuh. Sehingga ia pun menangis dihadapanku. Ibu lalu memeluk dan mengecup keningku. Berharap agar aku merasa tenang. Ya, aku memang merasa tenang sekarang dan membalas pelukannya.
Aku mencoba untuk keluar dan pergi ke tempat dimana Annela dimakamkan. Ibu dan Aruna mengantarku kepusaranya. Disana terdapat gundukan tanah bernisankan kayu dan ikatan dari pakaian Annela yang merah akibat noda darah yang mengering. Aku hanya bisa berlutut disamping pusaranya. Lututku seakan tak mampu untuk menopang tubuhku.
"Tuhan sungguh kejam terhadapmu, Annela"
"Tidak, tuan. Ini adalah ketetapan yang Tuhan gariskan padanya. Dia sejatinya mendapatkan hukuman dari Tuhan." ucapan Aruna itu sangat menyakitkan bagiku.
"Hentikan, Aruna," amarahku tiba-tiba memuncak. "Pergi, atau aku akan membencimu selamanya," aku melanjutkan.
"Ta..."
"Apa maksudmu?"
"Dialah yang mengatakannya pada kami," akupun berusaha untuk berdiri dengan amarah yang semakin meledak-ledak. Berniat untuk mencari Ta dan membunuhnya.
"Tunggu, nak. Jangan kau lakukan itu," ibu menghalangi.
"Dia sudah damai disana sekarang. Ta juga yang mengatakan itu. Dia diampuni karna telah menolong kami semua," ucap ibuku lagi.
"Apa yang dia perbuat? Sehingga harus di hukum seperti itu?"
"Dia adalah perampok, Yandra."

"Apa maksudmu?" dengan tatapan benci kepada Aruna. Tiba-tiba aku seakan mengingat sesuatu. Aku pernah menceritakan ini pada keluarga Annela waktu itu. Soal korban perampokan yang sempat kami temukan. Dimana aku tersesat dan harus bersama mereka beberapa saat. Mereka memang serius mendengarkan ceritaku. Namun, nyoya Betty ibu dari Annela seakan bertingkah aneh. Seperti orang yang salah tingkah. Dan berusaha untuk merubah topik pembahasan.

"Nun diturunkan ke dunia oleh Tuhan adalah untuk memusnahkan manusia yang sudah tidak lagi berbuat baik." ucap Aruna. Lalu akupun teringat saat Annela terluka kakinya karna terkena serpihan kaca. Sehingga membuatnya sangat mudah untuk dikejar oleh Nun. Dan bahkan Nun ungu lebih memilih menembak Annela daripada aku.
"Tapi, dia adalah wanita yang baik," ucapku membela.
"Akupun berfikiran begitu. Dia bahkan tidak pernah berbuat dosa kepada kami, kan?" setelah mendengar ucapan Aruna itu. Suara Annela seakan menggema didalam pikiranku. Yang kudengar adalah permintaan maaf dari Annela. Kata maaf dimana sebelum ia pergi untuk selama-lamanya. Apakah itu sebuah dosa? Aku bahkan tidak merasa kecewa jika dia bukanlah dirinya. Tapi, arghhh... aku bingung dengan perasaan yang begitu berkecamuk. Aku memutuskan untuk kembali dan duduk bersama ayah dan yang lainnya.

Mereka membicarakan cara untuk memusnahkan para Nun. Disamping itu, Ta juga menjelaskan makna dari tanda yang ada dikening Nun. Ia berkata bahwa huruf Nun yang menyerupai mangkuk dan mememiliki satu titik. Siapapun yang pernah membacanya, pasti akan tau.

Makna dari mangkuk itu adalah tubuh itu sendiri, dan satu titik berarti tujuan yang Tuhan berikan padanya. Karna mereka hanya mempunyai 1 maka, dia hanya diberi satu tujuan yang semua orang sudah tau apa itu. Sedangkan Ta ia di anugrahi akal. Dia juga menyebutkan bahwa manusia juga memiliki tanda yang sama. Namun titiknya berjumlah 3, yang berarti selain di embani tujuan dan dianugrahi akal. Manusia memiliki nafsu. Itulah kenapa kebanyakan manusia melupakan tujuannya didalam kehidupan dikarnakan tertutup oleh nafsu. Setelah menjelaskan makna dari jumlah titik itu.Mereka hendak melakukan rencana penyerangan.
"Jika kita melawan mereka semua sekaligus itu sama halnya kita bunuh diri," ucap seorang pria paruh baya didalam musyawarah yang ayah pimpin.
"Bukankah sekarang ada, Ta?"
"Iya, pastinya dia akan kewalahan. Karna kita ini jumlahnya banyak dan mereka jumlahnya lebih banyak lagi." ucapnya. Akupun berfikir sejenak.
"Kalian pasti awalnya tidak sebanyak ini kan? Maksudku kalian tinggal di daerah-daerah lain?"
"Iya," jawab seseorang disamping Gibran.
"Apakah ditempat kalian tidak ada Nun?"
"Ada! Dan mereka juga membuat sarang disana,"
"Jika begitu, kita serang mereka di titik-titik itu. Aku yakin jumlahnya tidak sebanyak yang ada di alun-alun kota,"
"Ide bagus, kapan kita akan melakukan penyerangan?" tanya ayah kepadaku.
"Secepatnya," setelah berunding kami hendak menyerang mereka nanti malam. Aku melihat Ta yang sedang menyantap daging rusa panggang utuh. Aku ingin menanyakan satu hal lagi padanya.
"Apakah benar tujuan Nun hanya itu?"
"Ya, itu memang benar," jawabnya sembari mengunyah.
"Apakah masih ada diantara kami yang harus dibunuh lagi?"
"Tidak," ia lalu menelan daging yang ada didalam mulutnya.
"Sebenarnya, ada Ta yang bersama mereka. Dialah yang membangkang kepada Tuhan. Dan mengambil alih semuanya,"
"Tunggu, apa ada yang sepertimu lagi?"
"Ada, dan dia turun lebih dulu daripada aku. Dia melakukannya setelah membunuh Annela. Karna ia tau bahwa mereka para Nun akan memusnahkan dirinya sendiri. Jadi ia yang memberikan efek magis kedalam jiwa para Nun itu untuk tetap tinggal dibumi ini dan berkuasa." jawabnya yang membuat kami semua terdiam.
Aku tak banyak berbicara pada ibuku atau siapapun itu. Aku lebih memilih diam setelah percakapan itu karna, Annela masih ada didalam pikiranku, dan mungkin selamanya akan tetap begitu. Disela aku menyiapkan perlengkapan untuk nanti malam, dia masih selalu ada seakan melintas didepanku dan bahkan membisik lembut ditelingaku.
"Tuan, kau belum makan sesuatu sejak kau bangun. Makanlah ini," bibi Shu memberikanku daging rusa panggang. Terlihat lezat memang. Tapi, aku tak memiliki nafsu makan untuk saat ini. Dan lebih memilih untuk meminum air saja. Aku rasa itu juga sudah cukup.
"Tidak, bi. Aku sudah kenyang." ucapku menolak. Bibi Shu memandangku iba, lalu kemudian pergi membawa daging itu lagi.
Kami semua sudah siap. Dengan membawa segala perbekalan yang disiapkan oleh para wanita. Kami semua berkumpul disini. Di sebuah gereja besar nan megah yang masih layak untuk ditinggali. Aku telah mengetahui berapa jumlah kami sekarang. Ada 278 wanita dan 179 laki-laki termasuk aku yang masih hidup. Kami para lelaki tidak meninggalkan mereka. 20 diantara kami akan tetap tinggal disini untuk menjaga mereka termasuk adikku Cendrik dan juga Ahmed yang ikut berjaga.
"Doa kami selalu menyertai kalian." ucap ibuku yang ikut mengantar kami semua yang akan pergi berperang kedepan halaman gereja.
"Amin," ucapku dalam hati. Kemudian kami semua pergi ke barat. Tuan Amir akan menunjukan jalan pada kami semua. Karna itu adalah titik yang hanya ia dan kelompoknya yang tahu.
*****
"Seraaaang!!" ucapku mengkomando.
Tembakan dari kami menghujani para Nun yang berlari mendekat. Beberapa diantaranya berhasil kami bunuh. Ta kemudian berlari dan mengayunkan pedang besarnya ke arah Nun yang ada dihadapannya. Pedangnya Sunghuh tajam. Sekeras apapun tubuh Nun, dimana peluru tak bisa menembus kulitnya selain lambang Nun. Karna hanya bagian itu saja yang bisa tembus oleh peluru. Tapi, pedang Ta yang ia bawa seakan tubuh Nun itu terlihat lunak. Bagaikan pisau dapur mengiris puding.
Kami semua sudah terbakar oleh api semangat sekarang. Setelah berhasil membunuh di satu wilayah. Kami semua kembali berjalan menuju wilayah lain. Dan kini giliran Louis yang memandu kami. Karna wilayah terdekat saat ini adalah wilayah tempatnya tinggal dulu. Sitibanya kami disana. Kita kembali menghujani mereka dengan tembakan. Dan Ta melakukan tugasnya lagi dengan menebas mereka satu demi satu. Jika dihitung jumlah yang sudah berhasil kami bunuh adalah 112. Cukup banyak dan kami akan tetap terus memerangi mereka.
"Sejauh ini, apa kalian sudah lelah?" ayah bertanya pada mereka.
"Tidak,"
"Kami akan terus berjuang!"
"Ya, aku pun begitu, Akan kugunakan darahnya untukku minum bila perlu,"
"Baiklah, Satu wilayah lagi!!!" ayah berseru menyemangati.
"Yeah!!" jawab mereka secara serentak.
Malam semakin larut, dua wilayah sudah kami babad habis. Masih banyak titik yang belum kami musnahkan. Meskipun mereka begitu bersemangat, namun rasa lelah tidak bisa mereka sembunyikan dari pandangan ayah. Maka ia putuskan untuk menghancurkan 1 wilayah lagi, dan dilanjut besok malam.
"Tunggu, sedang apa dia?" ucap Gibran.
"Reproduksi. Sudah lah, ayo kita serang. Ini tidak sebagus biasanya," ucap ayah. Mereka semua sedikit tertawa tapi tidak denganku. Aku masih tetap diam karna amarahku terus menggebu.
"Aaaaa... Hentikaan!!!" teriakan menghentikan langkah kami. Itu adalah suara wanita.
"Itu dia!" tunjuk Louis kepada kami, perempuan itu berada dalam genggaman Nun merah. Kini kami memprioritaskan keselamatannya. Aku menembak tepat kearah kepala dan menumbangkannya seketika. Nun biru yang ada disampingnya meraung memanggil kelompoknya juga. Lalu aku berlari mendekatinya dan menembaknya lagi, kemudian ia pun tewas ditanganku juga disusul oleh ayah dan yang lainnya menghampiriku.
"Apa kau tidak apa-apa," ucapku. Aneh rasanya, tiba-tiba saja aku bertanya padanya.
"Tidak, awas!!" ia menunjuk kebelakangku. Itu adalah Nun merah yang hendak menyerang. Namun Ta berhasil menebasnya menjadi dua bagian.
"Tetap berada dibelakangku." dia pun menganggukan kepala. Kuulurkan tangan padanya untuk membantu ia berdiri.
Keadaan ini sangat tidak menguntungkan bagi kami. Mereka semua ternyata lebih banyak dari yang kami kira. Sepertinya mereka baru saja pulang dari berburu dan terpancing oleh suara Nun biru. Kini mereka mengepung kami.
"Tembaak!!!" ayah berteriak memberikan komando. Satu persatu dari mereka tumbang. Tapi itu tidak semua, sisanya terus berlari kepada kami. Terutama Nun putih yang larinya sangat cepat. Ta terlihat kewalahan untuk menebas Nun putih dan menangkis tembakan dari Nun ungu. Gerakannya sangatlah cepat, dia terus berputar mengelilingi untuk melindungi kami semua. Serpihan tembakan yang Nun ungu berikan mengenai kami. Meskipun itu kecil, tapi berhasil membuat beberapa dari kami terluka.
"Argh..." pekik seseorang yang ada disampingku.
"Kau, cepat berlindung kebelakang,"
"Arghh.. Baiklah," yang sembari memegangi lengannya yang robek. Kami semua tak menghentikan tembakan kami. Tapi peluru shotgun ku habis. Terpaksa aku harus menghunakan revolver. Karna mereka terus berlari ke arah kami, sehingga tak ada waktu untuk melakukan reload.
Tanpa kami duga, Ta menunjukan sesuatu yang belum pernah kami ketahui. Yang kami sempat lihat, pedangnya seakan membelah diri. Kini ia menggengam dua bilah pedang yang kini memancarkan warna biru. Para Nun menghentikan langkahnya dan melindungi matanya dari terpaan sinar pedang milik Ta yang begitu menyilaukan. Dengan gerakan cepat ia menebas mereka semua dengan membabi buta. Ia berteriak bahkan lebih keras daripada semua raungan Nun yang kami tau itu sangatlah itu sangatlah memekakan telinga. Kami semua berhenti menembak dan menutup telinga kami yang terasa sakit akibat mendengat teriakannya.
"Sial, aku tak menyangka," ucapku yang sembari merunduk dan menutup kedua telingaku. Tapi aku memaksakan diri untuk terus menembak meski yang lain masih tetap merunduk dan menutup kedua telinganya sembari terpejam.
"Aaaaaaaaaarrggghhhh!!! Keparat kalian semuaaa!!!!" teriakku yang terus menumbangkan mereka satu demi satu hingga peluruku habis. Lalu aku menyambar senapan yang tergeletak disamping Gibran dan melanjutkan tembakanku hingga tak ada lagi Nun yang masih berdiri. Pertempuran ini selesai dan kami menang. Namun aku tersungkur karna lemas.
Gadis itu menolongku. Terlihat bibirnya bergerak seakan mengatakan sesuatu namun aku tak bisa mendengarnya. Pandanganku kini terasa buram dan menghitam. Akupun tak sadarkan diri.
*****
"Hey, kau tak apa?" ucapku pada Annela.
"Aku senang," jawabnya sembari tersenyum kepadaku. Aku tak menjawabnya karna terpesona saat melihat pancaran cahaya putih yang menyelimuti tubuh Annela.
"Jaga dia, Yandra. Dialah orangnya,"
"Siapa yang kau maksud?" tanyaku.
"Dialah wanita yang kau cari selama ini," jawabnya yang lalu ia menghilang secara perlahan dan menyisakan biasan cahayanya saja. Bahkan akupun tak sempat untuk menggengam tangannya.
Aku sekarang terbangun dengan balutan kain yang meliputi tangan kiriku dari pergelangan sampai ke bahu. Akupun melihat gadis itu tertidur disampingku. Pasti dia yang merawatku saat aku tak sadarkan diri. Kulihat langit dari balik celah dedaunan pohon beringin yang menaungi kami berdua. Keberadaan kami sekarang berada ditengah hutan tak jauh dari tempat Nun yang kami musnahkan. Dengan menahan rasa sakit yang teramat sangat kucoba untuk bangun.
"Tunggu, kau belum sembuh total," ucapnya yang menyadari bahwa aku mencoba untuk duduk. Aku tak menyadari bahwa kepalaku juga dibalut oleh kain.
"Kenapa aku? Apakah ini sangat parah?"
"Waktu itu kau mengalami luka robek akibat serpihan tembakan Nun biru"
"Berapa lama aku tak sadarkan diri?"
"3 hari," jawabnya. Aku tertegun sejenak seakan tak percaya. Aku pingsan selama itu? Tapi tetap kupaksakan untuk berdiri. Karna aku juga khawatir kepada yang lain.
Aku melihat beberapa dari mereka terduduk mengelilingi api yang sepertinya sedang memasak sesuatu. Lalu gadis itu berlari, aku pikir dia akan menahanku, ternyata dia hanya ingin mengangkat sup yang ia buat.
"Aduh, aku ketiduran," ucapnya sembari berlari. Ya, dia memasak untuk kami semua, dibantu oleh Yoda bersama dua orang lagi yang kutau bernama Sean dan Hudson. Aku serasa mati gaya karna terlalu percaya diri. Tapi, untuk apa, toh aku tidak mengharapkannya juga.
"Bagaimana yang lain, Ayah?" tanyaku sembari menepuk pundak ayah dari belakang.
"Oh, kau sudah bangun?"
"Ya," jawabku singkat. Lalu aku duduk untuk bergabung besamanya yang sedang berbincang-bincang dengan beberapa orang disini. Jujur aku belum cukup tau siapa nama-nama mereka, aku hanya tau beberapa. Tapi itu tak jadi masalah, tujuan kita adalah satu, dan itu membuat kita menjadi dekat layaknya keluarga.
"Nak, kau sungguh berani," ucap lelaki yang seumuran dengan ayah.
"Ah, tidak. Justru kalian lah yang sangat bersemangat,"
"Hahaha... Bagaimana lukamu?"
"Membaik, meski ini masih terasa agak sakit," sembari memandang lengan kiriku dan mencoba untuk menggerakkannya.
"Argh.." pekikku. Wanita itu berlari menuju kemari. Mungkin suaraku terdengar olehnya.
"Kenapa?" tanyanya khawatir.
"Tidak. Sudahlah, selesaikan saja masakanmu,"
"Lihat ini, darahnya kembali keluar. Sebaiknya seseorang harus membantu mengikat tanganmu agar tidak banyak bergerak," ucapnya dengan nada marah. Terlihat mereka yang tersenyum melihat kami berdua. Begitu juga dengan ayah.
"Sebaiknya kau turuti apa pintanya,"
"Ayah. Sudah lah, aku bukan anak cengeng,"
"Bukan begitu, tanpa pertolongannya. Mereka yang terkena serpihan peluru Nun itu juga akan mati kehabisan darah," aku tak bisa menyanggah ucapan ayah.
"Lagipula, dia juga yang memberikanmu air selama kau pingsan dengan menyuapimu secara telaten, Kau mengalami dehidrasi saat itu. Dan apakah kau lupa? Kau tak makan apapun sejak digereja?" benar yang ayah katakan. Kini perutku tiba-tiba berbunyi.
Kruukkk...
"Hahahahaha... kau mengingatkan perutnya, tuan," ucap pemuda yang ada disamping ayah. Merekapun juga tertawa. Begitupun gadis ini yang sedang mengganti kain balutan ditanganku dengan kain yang baru.
"Aku akan ambilkan makanan untuk kalian, tunggu sebentar," ucapnya. Ayahku mengangguk tanpa melupakan senyumannya untuk gadis itu. Ayah lalu mendekatiku untuk berbisik kepadaku.
"Gadis itu bernama Cheryl," bisiknya padaku. Tapi aku tak begitu peduli meski sudah diberi tahu nama dari wanita itu.
Bersambung...



Bag 8 : Terimakasih, Cheryl.
Gambar : pinterest
Dia begitu cekatan saat membatu semuanya. Dia juga tidak sendirian saat merawat kami. Meski begitu, dia bagaikan kepala bagian kesehatan disuatu kelompok dan menjadikan beberapa diantara kami perawat yang ia kepalai. Selain itu, juga menjadi kepala dapur yang memiliki assisten koki bernama Yoda, Sean, dan Hudson. Setauku Yoda tidak begitu pandai memasak. Yang aku tau, dia adalah kepala keamanan yang melindungi perusahaan ayah dan ibu waktu dulu. Tapi, seburuk apapun masakannya nanti, toh kita pasti akan tetap memakannya karna lapar. Ah, buat apa juga aku memperhatikannya. Tidak penting dan buang-buang waktu.
"Makanan datang," ucap Yoda dan Cheryl bersamaan. Sejak kapan Yoda semanis ini. Dia pasti diracuni gadis itu. Aku harus berhati-hati padanya. Bodoh! Untuk apa aku harus waspada? Dia tak bersenjata dan tidak memiliki kulit yang bertekstur batu. Dia hanyalah seorang gadis biasa yang memakai dress lusuh, sendirian, dan sekarang dia bergabung bersama kami.
Cheryl memberikanku semangkuk sup buatannya sembari tersenyum. Aku melihatnya. Aku melihat Annela yang sedang tersenyum dan bukanlah dia. Waktu terasa lambat saat ia tersenyum padaku. Dengan reflex akupun membalas senyumannya.
"Terimakasih," bibirku mengucapkan kata diluar kendali.
"Syukurlah kau menghargaiku," dan wajahnya kembali menjadi Cheryl. Rasanya kaku. Entah apa yang harus aku perbuat. Ya, aku makan saja sup pemberiannya.
"Ahhh... Panasss!"
"Ini baru saja di ambil dari kuali, sudah pasti panas," ucapnya. Namun aku tak merespon kepeduliannya.
"Yoda, bisa ambilkan aku minum?"
"Ini tuan," yang kemudian memberiku sebotol air padaku. Saat aku minum, Cheryl masih saja menatapku dengan tatapan sinis. Sehingga membuatku menjadi batuk karna tersedak.
"Uhukk.. Uhuk.."
"Kau ini kenapa?" tanya Cheryl kepadaku.
"Bisakah kau tidak menatapku seperti itu?" ucapku kesal.
"Oh, baiklah. Biar aku makan bersama yang lain," lalu ia berdiri dan pergi.
"Nak, itu tidak baik." ucap ayah.
"Sudahlah ayah," aku memasang raut wajah kesal padanya juga.
"Oke, ayah akan diam,"
"Itu lebih baik," jawabku dalam hati.
Kami masih belum bisa melakukan penyerangan lagi, dikarnakan aku dan 40 orang lainnya masih terluka dan aku juga baru menyadari bahwa Indra pun terluka. Jari tengah di tangan kanannya putus saat terkena serpihan tembakan Nun ungu. Tapi dia mengatakan bahwa sekarang ia sudah mulai merasa baikan. Syukurlah kalau begitu.
Jika seperti ini, kemungkinan akan memakan waktu yang cukup lama untuk sembuh. Ayah sebagai pemimpin sangat prihatin saat harus membawa mereka kembali berperang bersama Ta. Namun, mereka akan memaksakan diri demi merebut kemenangan dan kebebasan yang sudah lama direnggut oleh mereka. Maka dari itu, ayah akan memberikan waktu 1 minggu dari sekarang untuk kita semua yang terluka.
"Jika itu mau kalian, beristirahatlah dan pulihkan lagi kondisi kalian," ia mengatakan itu dihadapan semua orang. Merekapun menyepakati keputusan yang ayah buat. 1 minggu juga terasa sangat cukup bagiku untuk memulihkan kondisiku. Begitupun mereka.
Kini langit akan mulai menjadi gelap. Sesaat akan kembali beristirahat, secara tak sengaja aku melihat Cheryl itu terduduk ditepi tebing memandangi matahari yang akan segera terbenam, sendirian. Aku tiba-tiba merasa bersalah atas ucapanku tadi siang. Apa aku harus menghampirinya? Sepertinya tidak usah, aku harus menyembuhkan luka ini. Dan semakin cepat akan semakin baik. Namun aku tak bisa dan berbalik untuk menemaninya.
"Apa kau... "
"Tidak," jawabnya ketus. Padahal aku juga belum menyelesaikan pertanyaanku. Tapi jawabannya terasa tepat.
"Boleh aku bergabung?" aku mulai merasa canggung sekarang.
"Duduklah dimanapun yang kau mau," jawabnya, ia tak menolehku sama sekali. Akupun duduk disampingnya. Tidak terlalu dekat, cukup berjarak.
Kami terdiam tak mengucapkan sepatah katapun. Kulihat dia hanya terus memandangi matahari yang kini terlihat tinggal sepertiganya saja. Dorongan kuat ini tiba-tiba muncul didalam diriku untuk meminta maaf padanya.
"Maafkan aku... soal tadi siang,"
"It's okay, aku sudah tau itu,"
"Tentang apa?"
"Kekasihmu, Annela." jawabnya. Syukurlah jika ia paham.
"Tapi, bukan berarti kau juga harus seperti ini kan? Terutama sikapmu terhadap ayahmu dan yang lain," dia melanjutkan ucapannya. Aku hanya diam tak menjawab.
"Jadilah lelaki dewasa, Yandra. Dan berhentilah bertingkah seperti bocah cengeng!" ucapannya seakan menampar wajahku dengan sangat keras. Aku hanya tertunduk setelahnya, baru kali ini aku mendengar seseorang mengatakan itu kepadaku. Yang bahkan ibu pun tak pernah. Apalagi ayah yang tidak ingin melihat anaknya harus kecewa. Tapi dia, dia berhasil membuatku diam membeku saat ini. Tak bergerak bahkan bersuara pun tidak untuk sekedar menjawab ucapannya itu. Ia kemudian berdiri dan pergi meninggalkan aku sendirian.
"Annela, gadis ini begitu kejam," gumamku dalam hati.
Keesokan paginya, aku mencoba untuk bersikap tenang dan melupakan kesedihan ini. Ya, hanya kesedihannya. Bukan Annela. Dengan sedikit lebih sering berbincang dengan yang lain. Kata-kata semalam seakan membukakan jalan baru yang bisa aku lalui. Dan kini aku bisa meninggalkan jalanku yang lama.
"Semalam kau dimana?" tanya ayah.
"Aku bersama Cheryl semalam," ayah seperti menunjukkan expresi terkejut saat aku mengatakan itu.
"K-kau?"
"Hanya berbicara saja. Setelahnya ia pergi dan aku tidur di tepi tebing sana," sembari aku menunjukkan tempatnya "sendirian," lanjutku.
"Sebaiknya jangan, nak. Nanti kau akan terperosok saat kau tertidur,"
"Jangan khawatir, aku mengikat kakiku ke pohon sebelum aku tidur," setelah mendengar ucapanku, ayah langsung tertawa setelahnya, akupun begitu.
Lalu aku berjalan ke arah kepulan asap dan terlihat Cheryl yang sedang memasak sesuatu untuk kami. Lalu aku mencari posisi duduk yang pas untuk melihatnya kerepotan saat harus mengarahkan Yoda, Hudson, dan Sean.
"Sean, ambilkan aku air lagi,"
"Oke,"
"Yoda, aduk itu jangan sampai dasarnya gosong, ya?"
"Aku berusaha,"
"Dan Hudson, apinya terlalu kecil, mereka semua sudah lapar dan tidak akan sanggup jika harus menunggu 3 hari lagi," aku terkekeh saat mendengar ia menyindir Hudson. Begitupun dengan Yoda. Ia harus takluk kepada seorang gadis biasa yang kemudian menyuruhnya untuk mengaduk masakan. Tapi pancaran kebahagiaan mereka begitu terlihat dimataku. Gadis ini memang memberikan energi positif pada semuanya dan membuat suasana menjadi lebih hangat.
"Hey kau! Hanya mau melihat saja?" teriak Cheryl padaku. Sepertinya ia tau bahwa aku sedang memperhatikannya. Aku lalu pergi tanpa menjawab pertanyaannya dan hendak menghampiri Ta yang kini masih tertidur pulas.
Saat kuhampiri, Ta langsung membuka matanya. Aku cukup terkejut karna ia langsung duduk dan kemudian menghadap kearahku setelah itu. Padahal aku mendengar ia sedang mendengkur barusan.
"Apa makanannya sudah matang?" ucapnya pertama kali kepadaku dipagi ini. Astaga...
"Belum," ekspresi sumringahnya berubah menjadi lunglai lalu kembali merebahkan tubuhnya lagi di atas rumput.
"Eh tapi, kelihatannya sebentar lagi akan matang. Aku baru dari sana untuk memastikannya tadi," ia kemudian kembali membuka matanya dan duduk bersamaku. Astaga, dia begitu pemalas.
"Selagi menunggu. Aku punya beberapa pertanyaan padamu,"
"Baiklah," sembari menguap dan menggosok-gosok matanya.
"Ummm... kau sudah bertemu dengan Tuhan?"
"Sudah," dengan ekspresi yang tiba-tiba menjadi serius.
"Bagaimana wujudnya?"
"Aku lupa," jawabnya.
"Kau juga pasti lupa, kan?" dia berbalik bertanya padaku.
"Ya, mungkin." jawabku sekenanya.
"Semua makhluk pasti pernah bertemu dengan-Nya. Tapi Tuhan menghapus memori ingatannya setelah makhluk itu akan datang kedunia,"
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Agar kalian bisa membangkitkan titik yang ke 4,"
"Apa itu?"
"Hatimu, Yandra. Begitu juga dengan yang lain. Dan aku merasakan titik itu kini mulai tumbuh diantara kalian,"
"Lalu, apa gunanya setelah titik yang ke 4 itu bangkit dari dalam kami?"
"Kau akan bisa merasakan kehadiran-Nya, Yandra. Itu adalah cara unik yang Tuhan rancang kepada manusia agar bisa merasakan akan keberadaan dan dimana kini Ia berada. Meskipun kau hanya bisa merasa dan tidak bisa menjelaskan ini kepada siapapun. Tapi kamu tau itu,"
"Iya, aku melihat mereka yang pernah merasakan kehadiran-Nya. Tapi mereka berbeda dalam keyakinan. Dan berbeda pula dalam menyebut nama Tuhan. Kau tau, kan?"
"Pada hakikatnya, Ia tak memiliki nama, Yandra dan manusialah yang menamai sang penciptanya agar mempermudah,"
"Dalam hal apa?"
"Dalam hal apa saja. Seseorang pasti akan menyebutnya dengan panggilan itu jika ia akan berdoa atau merasa terancam,"
"Jadi, bagaimana dengan keyakinan? Apa Tuhan hanya mengizinkan pada satu keyakinan saja?"
"Tidak, Yandra. Jika kau beranggapan seperti itu terhadap-Nya, berarti titik ke 4 mu belum bangkit. Jadi, jangan salahkan Sang Pencipta jika kau tak pernah merasa tenang dan puas dengan apa yang kau capai. Meskipun itu dijalan yang kau yakini sekalipun. Sama halnya kau tersesat dan akan semakin jauh jika kau terus mencobanya dengan tak mau merubah jalan fikirmu dan juga sudut pandangmu itu." ucapan Ta seakan membuka sesuatu yang sepertinya sudah lama terkunci didalam diriku.
"Apa ada titik lain selain ini?"
"Ada, itu yang kelima. Itu adalah kesempurnaan. Titik itu akan muncul jika kau sudah mati. Tak peduli meskipun titik ke 2,3 dan atau 4 belum bangkit dalam dirimu,"
"Kau benar, terkadang kematian itu datang disaat yang tidak selalu tepat," ucapku melanjutkan ucapan Ta. Pelajaran yang cukup berharga bagiku. Tak kusangka, bahwa Ta mengetahui banyak hal tentang jalan kehidupan. Berbeda dengan Nun, meskipun sama-sama turun dari langit, tapi dia lebih istimewa. Pantas saja Nun ingin merebut dia dari kami lagi.
Kulihat Cheryl melambaikan tangan kepada aku dan Ta memberitahukan bahwa makanan sudah siap. Kemudian ia berlari menghampiri Cheryl dengan gembira. Itu membuat bumi ini terasa bergetar akibat hentakan kakinya saat berlari. Akupun berdiri dan menghampiri mereka untuk ikut makan. Hari ini begitu berbeda, terasa sangat bahagia. Hahaha... kini giliran aku yang merasa sudah berhasil diracuni oleh gadis yang bernama Cheryl. Apakah ini yang dirasakan Yoda sehingga merubah dirinya? Entahlah, aku merasa lebih baik sekarang.
"Apa masih ada untukku, Cheryl?" tanyaku padanya.
"Ini dia," ia memberiku semangkuk sembari tersenyum. Lalu aku menerima mangkuk berisi sup buatannya itu. Kini aku melihat Cheryl dan bukan lagi Annela. Namun tak apa, bukan berarti aku sudah melupakan Annela. Dia kini sudah mendapatkan tempat disisi lain hatiku dan tidak akan pernah terhapuskan bahkan oleh waktu sekalipun.
"Terimakasih," ucapku pada Cheryl.
Bersambung...





Bag 9 : Kita pasti menang!
"Kau tau?"
"Apa?"
"Ahh... tidak jadi," ucapku.
"Sebaiknya ceritakan saja,"
"Suatu saat, aku akan mengatakannya. Tapi tidak sekarang. Aku menunggu waktu yang tepat,"
"Baiklah. Jika tidak ada yang dibicarakan lagi, sebaiknya kau beristirahat. Besok adalah waktu kalian untuk kembali berperang. Lagipula, ini sudah sangat larut," aku mengangguk. Lalu kami berdua berjalan untuk pergi beristirahat dengan yang lain. Cheryl pergi menuju api ungun sedangkan aku pergi menghampiri Ta yang sedang telentang dan mendengkur keras. Meskipun begitu, aku tak merasa terganggu oleh dengkurannya. Justru aku merasa nyaman bila ada didekatnya. Karna dialah yang mengubah arahku. Sekarang aku tau arah tujuanku. Dan olehnya juga aku kembali percaya kepada-Nya. Tak lama setelah aku merebahkan tubuhku, aku pun tertidur.
Matahari pagi masih belum terlihat dari ufuk timur, tapi kami sudah sibuk dengan mempersiapkan senjata yang akan kami gunakan nanti. Sedangkan Cheryl sibuk untuk mengemas peralatan masak dan makanan, juga tidak lupa mematikan api sebelum keberangkatan kami semua.
"Apa kalian siap!" teriak ayahku.
"Siap!!!" kami semua menjawab dengan serentak. Rasa percaya diri dan semangat itu terpancar jelas di wajah setiap orang yang aku lihat. Ya, aku yakin, kita akan menang.
"Baiklah, biar tuan George yang memimpin perjalanan kali ini, dia yang tau jalannya," ucap ayahku yang langsung mempersilahkan dirinya dan kelompoknya berjalan terlebih dahulu. Kami semua berjalan berbaris dari belakang menapaki jalan setapak hutan ini.
Ditengah perjalanan menjelang siang, kami menemukan banyak sekali mayat manusia. Mereka semua sudah tidak lagi utuh akibat gigitan dari Nun. Kami bisa memastikan bahwa yang memakan mereka adalah Nun berwarna hijau dan kuning. Karna mereka masih sangat muda jadi, tidak memiliki nafsu makan yang terlalu seperti Nun lain yang sudah dewasa.
Tuan George mengangkat tangan kanannya dan kami pun berhenti setelah melihat aba-aba darinya.
"Disana! Itu adalah target kita " ucap tuan George lalu kami semua mengokang senjata dan bersiap untuk menembak. Kami semua pergi berpencar sekarang. Kita akan mengepung mereka dan menghujaninya dengan timah panas. Ini juga bertujuan agar pengepungan terhadap kami bisa terdeteksi lebih awal dan kejadian minggu lalu tidak akan terjadi lagi. Dan apabila itu terulang, kami semua yang masih terluka dan belum pulih sempurna akan dengan mudah mendapatkan serangan lagi darinya. Dan kemungkinan besar, akan banyak diantara kami yang mati nantinya.
Kami semua melihat mereka yang sedang sibuk membangun sarang-sarang baru.
"Itu dia, eh... Bukannya kau dibelakang saja?" tanyaku berbisik pada Cheryl.
"Jangan meremehaknku, Yandra." jawabnya angkuh kepadaku.
"Tembaaakkk!!" teriak ayah memberi komando. Lalu kami semua menghujani mereka dengan timah panas. Sehingga beberapa dari mereka terjatuh setelah keningnya berlubang. Lalu Ta berlari dengan sangat cepat ke arah Nun. Menebas mereka satu-persatu dengan penuh nafsu. Begitu juga Cheryl yang ternyata dia sudah lari menuju Nun itu meninggalkan aku yang masih dalam posisi menembak.
"Mengapa aku hanya diam? Bodoh. Maju!" gumamku kesal dalam hati. Lalu aku berlari menuju Cheryl dan berhasil menembak Nun Putih yang hampir saja akan menendangnya. Disusul oleh Ayah dan yang lainnya. Tapi tidak semua, mereka masih tetap pada posisinya dan menembaki mereka dari jarak jauh.
"Jangan ceroboh!" ucapku dengan nada membentak. Namun ia tak menghiraukan aku dan terus saja menembaki mereka dengan shotgun yang Louis berikan padanya. Senjata itu ia kendalikannya mantap dengan posisi yang pas, meminimalisir hentakan dari senapan itu. Sehingga tembakannya tidak melenceng sama sekali. Seperti seseorang yang sudah terbiasa menggunakannya.
Akupun tak mau kalah darinya. Aku menembak Nun biru dan melompati tubuhnya yang sudah akan terjatuh lalu menembak Nun merah yang ada tepat dibelakangnya. Tiba-tiba aku melihat Nun putih berlari ke arahku. Lalu aku meraih dahan pohon yang ada disamping. Memanjatnya selagi ia masih berlari kearahku. Kemudian melompat kearahnya. Aku berhasil menembak kepalanya sebelum ia memukulku. Lalu kuhempaskan ia dengan dorongan dari kakiku tepat mengenai kepala Nun putih dan bersalto setelahnya.
"Kuharap Cheryl melihat ini." gumamku dalam hati. Namun ia tak melihatku sama sekali. Ia masih tetap fokus menembaki Nun hijau dan kuning yang hendak menyerang dirinya sembari membelakangiku. Ah... kau terlalu berharap, Yandra.
"Mahir juga ternyata," ucapku.
"Aku memang sudah terbiasa," pungkas Cheryl.
Setelah selesai dari tempat yang tuan George tunjukkan untuk kami dan kami berhasil membunuh mereka semua yang jumlahnya ada 139. Kini giliranku yang memandu mereka ketempat Annela dulu. Karna tempat ini sangat dekat dengan posisi kami saat ini. Bahkan tempatnya pun bisa dilihat dari sini. Karna tempat kami sekarang lebih tinggi dari tempat yang akan kami tuju.
"Kuharap kau tak kehilangan fokus disana," ucap ayah.
"Tidak, aku sudah banyak belajar dan bisa merelakannya sekarang."
"Bagus. Itu baru jagoan ayah," ucapnya bangga sembari menggosok-gosok kepalaku dengan telapak tangannya. Itu membuat rambutku menjadi berantakan.
Setibanya kami disana. Tanpa bertele-tele, kami langsung menembakkan peluru kepada mereka yang beberapa diantaranya sedang tertidur. Ta memiliki cara lain saat menyerang gerombolan Nun itu. Ia memilih melompat secara langsung ke arah kerumunan itu. Setelah ia berhasil menginjak salah satu diantara mereka dan membuat dadanya remuk. Ia langsung memutarkan pedangnya. Sehingga para Nun itu tertebas dibagian pinggang hingga putus. Cara itu memang sangat efisien dalam menghemat waktu. Tapi mereka jumlahnya kini bertambah banyak. Karna mereka juga bermunculan dari arah bukit dan langsung berlari menuju kemari. Salah kami memang, karna terlalu sibuk menembak Nun secara random dan tidak mempriotitaskan Nun yang berwarna biru. Karna ia akan terus memberikan signal kepada para Nun lain untuk meminta bantuan. Lalu aku menembaki 13 Nun biru itu sendirian dengan cara berlari dari satu Nun ke Nun biru lainnya. Hingga raungannya sudah tidak lagi aku dengar.
"Baikalah, giliran tamu yang akan menerima salam hangat dari kita," ucap Aruna.
"Yeah," sahut Gibran sembari terengah-engah.
"Ta. Berikan dia tarianmu!" ucapku padanya. Ia kemudian berlari dan melompat ke arah kerumunan Nun itu dan melangsungkan serangan dengan kembali berputar ditengahnya. Disusul oleh kami yang menembaki Nun yang hendak menyerang Ta dan juga hendak menghampiri kami.
"Awas, Nun violet akan menembak!" teriakku. Ta dengan sigap dan berlari dengan sangat cepat untuk berusaha menebasnya. Dan ia berhasil membelahnya menjadi dua dari ujung kepala sampai selangkangannya sebelum ia menembakkan peluru itu ke arah kami.
"Tinggal satu lagi," ucapku. Dan sasaranku adalah Nun merah yang tertatih berusaha mendekatiku.
Dor...
"Hah?" lalu aku menoleh kearah Cheryl yang sedang meniup asap yang keluar dari moncong revolvernya.
"Aruna. Revolver ini biar aku juga yang bawa oke?" ucapnya pada Aruna dan tidak mempedulikanku yang masih kebingungan. Karna seharusnya akulah yang menembak Nun terakhir itu. Tapi tak apalah. Dia gadis yang tangguh ternyata.
"Kita berhenti sebentar," teriak ayah.
"Kalian luar biasa!" ucap seseorang yang entah siapa namanya. Yang jelas, ia mungkin sangat puas karna serangan yang kami lancarkan 2 kali ini berjalan dengan lancar dan cepat. Lalu Cherly membagikan singkong dan ubi bakar yang ia siapkan kemarin sebelum keberangkatan kami. Dibantu oleh Hudson dan Louis.
Kini langit berubah menjadi warna merah. Dan kami semua hendak menyerang satu wilayah lagi sebelum ke alun-alun kota. Itu adalah tujuan terakhir kita. Sebagian besar Nun Violet berada disana, di alun-alun. Menurut informasi yang kami dapat dari seseorang yang belum lama dari sana mengatakan bahwa ada sekitar 60 lebih Nun violet yang berada disana. Itu adalah jumlah yang amat sangat banyak belum lagi dengan Nun dewasa lainnya yang tak kalah banyaknya. Bahkan lebih banyak lagi, dan yang berhasil kami bunuh itu belum setengah dari total jumlah yang ada di alun-alun kota. Menurut penerawangan Indra, Nun Violet diperintahkan oleh Ta jahat untuk berkumpul di alun-alun kota. Mungkin dia menyadari akan penyerangan ini. Jadi dia telah mempersiapkan pasukan terbaiknya untuk menyambut kedatangan kami semua.
"Itu adalah jumlah yang amat banyak," kata seorang pemuda disamping Yuda.
"Memang benar, lalu apa langkah kita agar bisa memenangkan pertempuran ini?" tanya Louis yang kemudian menatap kami semua mengharapkan jawaban atas pertanyaannya itu. Lalu percakapan pun terjadi dengan lawan bicara yang ada disebelah mereka masing-masing. Sebagian yang aku dengar adalah mereka yang putus asa dan juga bingung apa yang harus dilakukan. Lalu aku berdiri dan berjalan mendekat kearah api yang kami semua mengitarinya. Mereka secara perlahan kembali tenang dan menatapku.
"Jangan takut, kita sudah sampai sejauh ini. Seharusnya tak ada lagi ketakutan yang memakan keberanian kalian!" ucapku dengan yakin. Mereka menatapku dengan sangat serius sekarang.
"Lihat dia!" aku menunjuk kepada Ta yang sedang mengunyah 5 singkong bakar sekaligus. Dan menatapku bingung saat tanganku menunjuk dirinya.
"Itu adalah bukti bahwa Tuhan masih memihak kita! Masih bersama kita! Dan masih membantu kita!" lanjutku.
"Apa kalian masih percaya kepada Tuhan?" tanyaku kepada mereka.
"Yeah, anak muda. Aku sangat percaya!" ucap Tuan George sembari berdiri.
"Aku juga," ucap Tuan Amir
"Tentu saja," jawab ayah. Yang lalu diikuti oleh yang lainnya yang juga menyebutkan dan mengakui keberadaann-Nya sembari berdiri.
"Kita akan menang!" teriakku pada mereka sembari memgepalkan tangan keudara. Ta juga seakan bahagia melihat kami semua kembali bersemangat dan ikut berteriak keras sehingga telinga kami dibuat sakit olehnya.
*****
Kami semua sudah berada ditempat yang ditunjukkan oleh Cherly dan ini adalah tempat terakhir sebelum alun-alun kota. Dia bercerita bahwa seluruh anggota kelompoknya dibunuh disini. Disaat mereka semua sedang tertidur lelap. Untunglah Cherly berhasil selamat meskipun pada akhirnya ia harus ditangkap dan dibawa oleh Nun cukup jauh dari tempatnya. Dan pada akhirnya kami menemukan dirinya. Dan berhasil menyelamatkan nyawanya.
Kami menembak mereka sembari berlari. Teriakan kami seakan membuat mereka ketakutan. Mereka semua berlari menjauh. Namun kami tidak akan membiarkan satu pun berhasil lolos dari lontaran timah panas yang kami semua berikan. Mayat mereka bergelimpangan disini yang masih mengucurkan darah. Disetiap titik yang kami serang, itu jumlahnya akan semakin banyak dari titik sebelumnya. Dan kami berhasil mengalahkan semua itu hanya dalam sehari saja. Meskipun didunia ini masih banyak lagi titik yang lain. Namun, di sini. Dinegara ini. Daratan ini. Kami sudah bisa memusnahkannya. Kini kami semua bersiap untuk membinasakan mereka di alun-alun kota. Tapi, bagaimana dengan belahan dunia lain? Entahlah. Yang jelas, jika Nun lain berani menginjakkan kaki dinegara ini. Kami akan dengan segera memusnahkan mereka.
"Sebaiknya kita mencari tempat untuk beristirahat. Karna malam sudah semakin larut dan kita sudah cukup kelelahan," ucap ayahku. Meskipun aku belum merasa lelah. Aku sadar, bahwa diantara kami banyak sekali orang yang sudah berumur lebih dari 50 tahun yang tidak setangguh kami yang masih muda. Meskipun semangat mereka masih sangat berapi-api seperti kami.
Lalu kami putuskan untuk sedikit berjalan ke arah barat dimana ada sebuah danau yang tidak jauh dari sini. Kami semua akan beristirahat disana.
"Baiklah, yang masih merasa kuat. Ikut bersamaku untuk berjaga," ucapku.
"Dan kita akan beristirahat secara bergantian. Apakah 3 jam sudah cukup?" lanjutku kemudian bertanya. Mereka semua sepakat dan akhirnya kami yang bertugas untuk berjaga berpencar kesegala arah. Untuk memastikan situasi tetap dalam kondisi aman.
Aku bersama 4 orang berada di arah tenggara. Hudson, Cheryl, Aruna, dan Gibran.
"Aku akan naik ke atas pohon," ucap Hudson.
"Ya, itu ide yang bagus," kata Aruna. Sisanya kami berada di bawah pohon yang Hudson panjat. Bersandar di akarnya yang tersembul ke permukaan tanah.
Aku melihat bulan purnama yang terlihat terang malam ini. Tak ada setitikpun awan yang menghalangi keindahannya. Sungguh damai aku rasa. Kulihat kearah samping, telihat Cheryl yang sedang bercengkrama bersama Aruna dan Gibran. Dia memang sangat ceria, meskipun ia tau bahwa sudah tak punya lagi saudara kandung karna hanya ia yang berhasil selamat kala itu. Meskipun aku sekarang melihatnya tertawa, tapi aku merasa kasihan padanya. Dan sepertinya aku merasakan bahwa dia menyembunyikan sesuatu dibalik senyumnya itu. Lalu aku merogoh saku celanaku yang disana ada sebuah kantung kain berisi permen pemberiannya waktu dulu. Namun celakannya. Aku tak menemukan permen itu.
"Celaka! Dimana dia?" aku kebingungan dan hendak pergi mencari kantung itu.
"Kenapa, tuan?" tanya Gibran. Cheryl dan Aruna juga memandangku yang sedang kebingungan.
"Kantung, a... aku kehilangan kantung itu!" jawabku agak terbata-bata.
"Apa isinya?" tanya Aruna. Tapi aku tak menjawab pertanyaannya itu dan akan pergi ketempat dimana kami membunuh Nun.
"Sial, dimana kau?" aku meraba-raba tanah dan rumput. Disini sangat gelap karna pepohonan sangat rindang sehingga cahaya bulan tak sanggupenembusnya. Dan aku pun tak bisa menemukan kantung itu. Tak lama mereka bertiga menghampiriku yang lalu menawarkan bantuan padaku.
Dor... Dor.... Dor...
"Dimana itu?" tanya Cheryl lalu mengeluarkan revolvernya.
"Astaga... cahaya itu!" ya... aku mengenali cahaya yang bergerak-gerak itu. Itu adalah Nun Violet. Tapi, jumlah mereka sangatlah banyak.
Sial... salah satu Nun biru itu berhasil kabur dan membawa bala bantuan kemari. Lalu, cara apa agar kami bisa membunuh Nun Violet sebanyak ini?
Bersambung...




Bag 10 : Terpatahkan.
Sumber gambar : Pinterest
"Apa? Cahaya apa?? Siapa mereka?" tanya Cheryl tanpa adanya jeda.
"Mereka adalah Nun violet, Cherly," jawabku.
"Apa sebanyak itu?"
"Sepertinya mereka dari alun-alun kota. Ayo cepat, beri tau yang lainnya," pungkasku. Lalu kami bergerak menuju Ayah setelah memanggil Hudson dan memberi tau bahwa para Nun violet datang menuju kemari.
Sesampainya kami di tempat ayah dan yang lainnya beristirahat. Ternyata mereka semua sudah mempersiapkan senjatanya masing-masing bersiap untuk kembali berperang. Namun, entah firasat buruk apa ini. Seakan kesedihan yang tiba-tiba saja terbayang didalam benakku.
"Tunggu!" teriakku.
"Kenapa anak muda?" tanya Tuan Andrew.
"Mereka semua adalah Nun violet," ucapku. Lalu seseorang berlari kearah kami.
"Tidak hanya itu, aku juga melihat sesosok yang membawa tongkat. Nun yang lainnya juga ada,"
"Dia adalah Ta. Tapi wujudnya berbeda denganku," Ta tiba-tiba saja datang.
"Seperti apa dia?" tanyaku.
"Yang jelas, kita harus berhati-hati. Kalian semua. Jangan pernah sekalipun memandang tameng yang ia bawa. Karna itu akan mengakibatkan ilusi. Camkan itu!" Ta menjelaskan kepada kami.
Ta memang ditakdirkan memiliki ilmu magis yang sangat dahsyat. Jika Ta yang berhasil kami sentuh adalah seperti ini maka, jika Nun yang menyentuhnya. Wujud lain dari Ta yang akan bangkit atau mungkin.... arghh aku tidak begitu yakin dengan prediksiku. Indra adalah seseorang yang cukup berani. Namun, ia merasakan aura magis yang terpancar dari Ta jahat itu sangatlah mengerikan. Ia bahkan tak sanggup berdiri dan hanya terduduk dengan tangan yang gemetaran.
"Tenanglah Indra," aku cukup merasa bingung dengan kejadian yang menimpa Indra. Matanya seakan tak berkedip dan terus memandang ke arah Ta yang masih belum bisa kami lihat. Kemudian aku menampar wajahnya dengan kuat yang membuatnya harus tersungkur ketanah.
"Bodoh! Sadarlah! Bukan waktunya untuk seperti ini,"
"Ta... tapi, Yandra. Bunuh aku. Tembak aku sekarang, Yandra. Aku tak ingin melihantnya. Aku ingin mati, Yandra!" ia seakan merengek sembari memeluk kaki kananku. Dia menangis dihadapanku. Entah kenapa, aku seakan merasa sangat kesal padanya. Lalu aku todongkan saja senjata ini tepat kearah keningnya. Ia pun memejamkan mata dan tertawa seperti orang tidak waras.
"Terimakasih, Yandra," ucapnya.
Plak...
Cheryl menampar wajahku.
"Kau, jangan bertindak bodoh!" bentaknya padaku.
"Aku hanya memenuhi keinginannya, jika kau mau, bilang saja!" ucapku yang juga geram pada gadis ini. Saat Cheryl menatapku, ia seperti tak mengenaliku. Ia menjauh dengan menarik Indra dari kakiku. Kemudian Ta menghampiriku dan memanggil namaku dan Indra. Seketika rasa kesal yang begitu meledak tiba-tiba menghilang begitu saja. Begitu juga dengan Indra yang kembali tenang dan meminta maaf setelahnya kepadaku. Begitujuga aku kepada Cheryl. Karna memang itu seakan diluar kendaliku.
"Kalian berdua termakan oleh efek magis itu. Saranku adalah, jangan pernah membuat kepanikan pada diri kalian sendiri. Tenanglah. Usahakan agar tetap begitu," ucap Ta kepada kami berdua. Begitu juga dengan yang lainnya. Agar mendengarkan perkataan yang diulangnya kepada kami berdua untuk mereka semua. Lalu kami mengerti. Setelah kami semua mengumpulkan keberanian. Aura itu perlahan memudar.
"Syukurlah, itu lebih baik," pungkas Ta.
Ta dan pasukan Nun nya sudah terlihat oleh kami. Dan kami semua sudah siap berada pada posisi menembak ditengah hutan yang lebat. Rencana mereka memang briliant. Menyerang kami yang masih lelah atas pertarungan tadi siang dan belum merasa cukup untuk beristirahat. Pada intinya, kami masih merasakan kelelahan.
Ta jahat itu berwujud hitam dan sangat gelap. Matanya memancarkan warna merah yang menyala. Tapi, ia tak memakai tameng yang seperti Ta baik katakan. Namun ia membawa tongkat yang bertahtakan batu berwarna merah delima yang juga memancarkan cahaya. Entah untuk apa itu, yang jelas. Firasatku mengatakan itu akan mengakibatkan kerusakan yang amat sangat fatal.
Ta jahat mengangkat tongkatnya tinggi, kemudia para Nun putih berlari ke arah kami dengan kecepatan tinggi secara serentak. Kami semua menembaki Nun putih itu sebisa mungkin agar tidak mendekat kearah kami. Ta kemudian menebas Nun putih yang sudah dalam jarak yang sangat dekat. Disaat kami masih disibukkan dengan Nun putih, Nun biru dan merah kini bergerak maju ke arah kami. Jumlahnya sungguh luar biasa banyak. Sebelum kami sempat menembak para Nun itu, terlihat olehku Ta jahat menurunkan tongkatnya. Dan ternyata itu adalah aba-aba bagi Ta violet untuk menembak dengan cara melompat tinggi dan kemudian memuntahkan pelurunya itu.
"Merunduuukkk!!!!" teriakku. Lalu kami semua menjatuhkan tubuh kami ketanah. Puluhan peluru besar dan juga hitam itu melesat dengan sangat cepat dan menimbulkan suara ledakkan yang sangat dahsyat. Sehingga menghancurkan segala jenis pohon yang kami gunakan untuk berlindung. Beberapa Nun lainnya juga mati akibat terkena tembakan maha dahsyat itu. Untunglah Ta baik berhasil menangkis tembakan yang terarah kepadanya. Kini tempat ini menjadi lenggang. Karna semua pepohonan besar dan kokoh sudah hancur berkeping-keping. Banyak juga diantara kami yang tertindih batang besar dan terluka akibat serpihan dari terjangan peluru Nun violet itu.
"Kalian bertahanlah!!" teriakku. Lalu aku berdiri dan berlari membantu mereka yang tertimpa batang pohon besar.
"Tembaakkk!!!" ayah berteriak memberikan perintah pada mereka yang masih dalam posisi aman. Suara tembakan yang tak henti-hentinya seakan tak membuat mereka mundur. Para Nun itu terus mendekat meski harus menginjak mayat-mayat Nun yang sudah mati.
"Aku akan angkat ini. Kau tarik kakimu oke?"
"Ya. Cepat, ini sangat sakit, aartgghhh..." pekiknya.
"1... 2... 3... Aaaarrrggghhh!!! Tariikkk!!!"
"Aaaarrgghhhhh!! Hah.... hah... Terimakasih..." ucapnya yang berusaha menenangakan diri. Kulihat yang lainnya juga sudah berhasil keluar dari himpitan dahan pohon oleh bantuan anggota yang lainnya juga.
"Cheryl awas!!" lalu aku berlari ke arahnya dan membantunya untuk menghindari tembakan Nun ungu dengan melompat hingga kami berdua tersungkur ketanah. Dan secara tidak sengaja aku menindihnya.
"Ah... maafkan aku," ucapku grogi.
"Its, okay," jawabnya singkat. Ukurannya memang tidak terlalu besar, namun akan sangat fatal jika terkena tubuh manusia.
"Tetaplah waspada! Ikuti aku!" ucapku. Tanpa basa-basi dan melupakan momen memalukan tadi. Ia menurut lalu mengekor dibelakangku.
"Kita cover gerakan Ta. Kau sangat bisa diandalkan untuk menembak jarak jauh,"
"Baiklah, lalu kau?"
"Akupun sama. Tapi kau fokuslah pada mereka, biar aku yang melihat situasinya,"
"Baiklah," lalu kemudian kami berdua menembaki Nun yang hendak menyerang Ta. Karna meraka sepertinya ingin membuat Ta merasa kewalahan sehingga tidak bisa melindungi kami.
Kulihat tongkat Ta jahat diangkatnya lagi keudara. Dan situasinya juga sangat tidak memungkinkan. Secara leluasa Nun violet bisa dengan mudah melihat keberadaan kami yang tanpa ada penghalang untuk bersembunyi. Kami semua menjadi sasaran empuk baginya.
"Sial.... Aku tak ingin melihat mereka semua mati." gumamku dalam hati.
Guk... Guk... Guk...
Tiba-tiba terdengar suara anjing herder yang berada ditengah antara kami dan Nun violet. Anjing itu masih terus menggonggong kearah barisan Nun violet dengan suara yang lantang. Perhatianku tertuju pada seekor anjing yang dengan beraninya berada di posisi paling depan. Namun, entah mimpi atau apa. Para Nun itu berhenti melakukan penyerangan. Mereka semua seperti mematung dan dengan mudah bisa kami bunuh satu persatu. Dan pada akhirnya semua Nun putih, merah, biru, dan ungu bisa kami tumbangkan dengan mudah. Ta jahat kini merasa kebingungan dan panik. Kemudian bergegas membawa para Nun violet itu berlari menjauh dari kami.
"Anjing itu! Yah, mereka semua dikendalikan oleh Ta jahat. Dan aura magisnya bisa dipatahkan oleh suara gonggongan anjing," ucapku pada Cheryl.
"Anjing?"
"Yah, kau melihatnya kan?"
"Kalau begitu, ayo. Kita kejar mereka, aku punya sebuah rencana untuk menghancurkannya," ungkap Cheryl kepadaku.
Lalu aku menghampiri ayah untuk segera mengejar mereka secepatnya. Cheryl kemudian memberikan rencana pada ayah, tak lama ayah pun merasa bersemangat dengan ide briliant yang diberikan oleh Cheryl, lalu memberikan komando kepada pasukan kami untuk mengejar mereka semua.
"Jangan biarkan mereka kabur! Kejar!!" ayah berseru kepada para pasukan kami.
Lalu aku menghampiri anjing itu yang kemudian menghentikan gonggongannya dan mengibaskan ekornya dengan menatapku dengan tatapan manja. Ia seakan tersenyum padaku.
"Anjing ini, ya! Aku ingat kamu. Ini adalah anjing yang aku lepas saat mendatangi gubuk yang sipemiliknya dibunuh oleh peram..." aku tak melanjutkan perkataan itu. Aku seakan sakit hati dengan apa yang akan aku ucapkan.
"Yandra, bawa anjing itu. Cepat!" ucap Cheryl yang melewatiku untuk mengejar Ta jahat yang berusaha kabur. Begitu juga dengan yang lain. Yang sudah lebih dulu berlari.
"Ayo kawan. Kita bertarung bersama," ajakku pada anjing itu. Kemudian menggonggong lalu berlari mengikutiku dari belakang setelahnya.
Aku berusaha mengimbangi kecepatan berlariku dengan Cheryl.
"Lihat ini," ucapnya padaku saat kami masih berlari. Ia kemudian memasukkan kedua jari telunjuknya kedalam mulut dan bersiul sangat keras. Ia melakukan itu secara berulang-ulang. Entah apa yang ia lakukan, yang jelas ini terlihat bodoh bagiku. Tapi tunggu... sepertinya aku mendengar suara dari kejauhan.
Aaauuuuuuuu..........
"Itu anjing?" tanyaku bingung.
"Itu serigala, hahahaha..." jawabnya. Jujur, saat ia tertawa setelah mamanggil seekor serigala itu. Dia terlihat sangat mengerikan. Siapa dia?
"Dimana serigala itu?" tanyaku lagi.
"Sedang dalam perjalanan. Tunggu saja," jawabnya lagi.
Kami semua dibawa menuju alun-alun kota. Letak dimana pusat keberadaan mereka sekarang. Para Nun segera menghalangi dengan berbaris membuat pagar guna menahan langkah kami dalam pengejaran itu. Kami semua langsung menembakinya secara terus menerus dan berhasil menumbangkan Nun yang berada dibarisan terdepan. Kemudian anjing yang bersamaku kembali menggong dengan keras ke arah Nun yang ada dalam kendali Ta jahat. Namun mereka masih tetap bisa berjalan kearah kami. Meskipun telah kami tumbangkan, tapi dibelakang mereka masih ada banyak lagi yang berbaris dan berlari ke arah kami. Seperti tidak ada habisnya.
"Ini tak akan bekerja, Yandra," ucap Ta kepadaku
"Kenapa?"
"Dia telah melipat gandakan kekuatannya," setelah Ta memberitaukan aku soal itu. Ia kemudian berlari ke tengah kerumunan Nun yang terhipnotis. Memutarkan pedangnya 360 derajat dan terus berputar menghabisi mereka dari dalam barisan dengan gerakan yang lebih cepat.
"Hahahaha... Kau tak akan mampu melawanku!" ucap Ta jahat dari kejauhan. Lalu ia mengangkat tongkatnya ke udara. Memberikan aba-aba pada barisan Nun violet untuk menembak. Namun, saat Ta jahat menurunkan tongkaynya kebawah. Terdengar suara lolongan serigala dari sekitar kami.
"Ini dia," ucap Cheryl dari belakangku. Bukan satu yang aku dengar, namun ratusan serigala yang yang berada di atap gedung-gedung pertokoan. Dan juga yang berada dijalan-jalan. Mereka semua serentak melolong ke arah para Nun, sontak saja membuat para Nun itu kembali menjadi seperti patung. Ilmu magisnya bisa kembali kami patahkan oleh ratusan suara Serigala yang dipanggil oleh Cheryl.
"Tembaaakkk!" teriakku pada mereka. Kemudian kami semua berlari kearah nun yang masih membatu karna mendengar suara lolongan tiada henti dari ratusan serigala yang dipanggil oleh Cheryl. Dengan mudah kami bisa membunuh para Nun itu dengan sangat cepat. Begitu juga barisan Nun violet yang berada tidak jauh dari Ta jahat. Mereka semua berjatuhan setelah menerima ratusan tembakan yang tertuju pada keningnya. Tubuh Ta jahat yang terhalang oleh barisan itu sekarang sudah bisa kami lihat. Dia memasang mimik wajah yang penuh akan amarah. Mata merahnya kini lebih terang dari sebelumnya. Setelah Nun violet terakhir tumbang. Kami semua terus berusaha untuk menembak Ta jahat. Namun, tembakan kami saat lontaran ratusan peluru kami akan berusaha merangsek kedalam tubuhnya yang hitam legam itu, terhenti dan melayang tepat dihadapannya. Tak lama ratusan peluru yang kami berikan semuanya rontok berjatuhan ketanah.
Kami semua terus menerus menembaki Ta jahat dengan mengerahkan semua persediaan peluru yang kami punya. Hingga tak ada lagi yang tersisa. Ta hanya menunggu dibelakang kami dan terus menatap tajam ke arah Ta jahat dengan tatapan penuh kebencian. Hingga pada akhirnya semua peluru kami habis.
"Kalian semua, mundurlah. Biar aku yang menghadapinya," ucap Ta yang kemudian melangkah maju kedepan. Tubuhnya mulai memancarkan cahaya berwarna putih ke emasan lalu kemudian membelah pedangnya menjadikan duan bilah pedang.
Tiba-tiba ia mengangkat tangan kirinya ke udara. Kabut hitam itu terlihat menyelimuti telapak tangannya dan ukurannya semakin membesar.
"Jangan ada yang melihat! Singkirkan pandangan kalian darinya! Dia memanggil tamengnya datang!" Ta memerintahkan kepada kami semua. Lalu aku dan yang lainnya menutup pandangan kami dengan tangan dan ada pula yang hanya memalingkan wajahnya saja. Suara lolongan serigala itu kini terhenti setelah melihat wujud dari tameng milik Ta jahat. Dan kulihat mereka semua mulai memakan tubuhnya sendiri dengan rakusnya. Mungkin itu yang akan terjadi jika kita melihat tamengnya. Untunglah aku berhasil menyelamatkan anjing yang ada bersamaku. Dan akan kuusahakan dia tetap berpaling dari tameng itu.
Aku melihat langkah kaki Ta terhenti. Dan Ta jahat juga berhenti tidak jauh dari hadapannya. Lalu ayah memerintahkan kepada kami semua untuk mundur dan pergi mencari perlindungan.
Aku berada tidak terlalu jauh dari mereka berdua. Keberadaan ku kini ada dibalik batu besar bersamaan dengan Cheryl dan seekor anjing yang berusaha ditenangkan olehnya. Akupun mendengar percakapan yang terjadi diantara mereka sebelum mereka berdua memulai pertarungan.
"Kini tinggal aku dan kamu, Gabriel," aku mengenal suara itu. Dia adalah Ta jahat dan memanggil Ta dengan Gabriel?
"Lucifer. Kembalilah kau ke neraka," dan itu adalah suara Ta. Tidak aku sekarang tau siapa dia, dia adalah Gabriel. Ternyata mereka berdua adalah malaikat. Termasuk lucifer, namun dia telah dibuang oleh Tuhan atas dosanya dimasa lalu.
"Tidak! Aku menjalankan perintah-Nya. Dan kaulah yang telah membangkang, Gabriel," ucap Lucifer.
"Mereka adalah orang baik, dan justru kaulah yang mengambil alih pasukan Tuhan dan menggagalkan mereka untuk membinasakan diri," ucap Gabriel menyanggah tuduhan Lucifer terhadapnya.
"Hahahaha... sudah, aku tak ingin berdialog dan membicarakan hal bodoh ini. Marilah kita bertarung. Siapa yang menang, dan siapa yang akan menguasai bumi ini," pungkasnya...
Bersambung...



Bag 11 : Ending
Sumber gambar : Google image.
Pov Gabriel
Takdir adalah sebuah buku kosong tebal yang Tuhan buat dan diberikan kepada setiap makhluk hidup. Kita semua ditugaskan untuk membuat takdir kita sendiri. Baik atau buruknya takdir yang engkau jalani adalah urusan-Nya. Siapapun tak memiliki hak untuk menilai takdir seseorang yang sudah ia gariskan sendiri. Termasuk aku, Gabriel. Yang dimana derajatku telah ditinggikan oleh-Nya dan ditugaskan untuk menyampaikan berita kebaikan yang akan langsung didengar oleh manusia pilihan Tuhan. Itu aku lakukan ribuan bahkan jutaan kali kepada setiap manusia yang telah dipilih-Nya.
Sekarang, aku seakan mengulang roda kejadian. Dimana aku harus membantu manusia yang selamat dari amukan akhir zaman. Lucifer telah bertindak curang karna tidak membiarkan Nun untuk memusnahkan dirinya sendiri. Padahal, Tuhan sudah memberkati mereka-mereka yang selamat. Namun, Lucifer menginginkan kehancuran seutuhnya daripada harus memilah. Seakan dia adalah Tuhan yang berkuasa atas segalanya. Apakah dia lupa bahwa dia juga tercipta dan bukan mencipta? Iblis tetaplah iblis, janjinya akan selalu ia pegang meski harus berulang kali kalah. Kematian baginya bukanlah suatu hambatan untuk tetap memegang teguh janji busuknya itu.
"Baiklah," jawabku. Kami berdua saling mengunci pandangan.
Lucifer berteriak saat mengeluarkan kekuatannya yang mengakibatkan tanah disekitarnya harus terpecah hingga dasar yang lalu menyemburkan lava pijar kepermukaan. Kerusakan yang ditimbulkan cukuplah luas hingga tanah yang aku pijak harus ikut hancur juga.
Retakan itu terus meluas hingga ke arah para manusia yang sedang berlindung dibalik pohon dan bebatuan. Akupun memanjatkan doa kepasa sang kuasa agar melindungi mereka semua.
"Tuhan, lindungilah insan baik yang malang ini," gumamku. Tak begitu lama, sesuatu berbentuk lingkaran mulai menaungi mereka semua. Retakan dan luapan lava panas itu seakan tak mampu menyentuh lingkaran dari perlindungan Tuhan.
Setelah Tuhan melindungi mereka. Aku bisa leluasa bergerak tanpa harus repot-repot melindungi mereka lagi. Dan bisa tetap fokus melawan Lucifer yang kini mulai mengeluarkan sayapnya. Penampilannya kini sangat jauh berbeda. Kukunya yang hitam kini lebih panjang dari sebelumnya. Dan dari mulutnya, keluar taring yang panjang lagi besar. Dia telah menunjukkan jati dirinya sendiri.
Akupun juga mengeluarkan kedua sayap dipunggungku, yang secara otomatis juga merubah seluruh penampilanku. Tubuhku dibalut pakaian sutera putih bergariskan emas yang membiaskan cahaya. Pedangku berubah menjadi semakin kuat dan tak bisa lagi aku bagi menjadi dua. Kuharap mereka semua tak melihat semua ini.
Setelah itu, Lucifer menciptakan bola api dari lava yang ia keluarkan dari perut bumi dan melesatkannya kearahku. Namun, berhasil aku halau dengan menebasnya hingga hancur. Ia tak seraya menghentikan serangannya itu bahkan menambahkannya lagi dan lagi, seakan tempat ini penuh sesak dengan bola apinya. Dengan sekuat tenaga, aku mengepakkan sayapku sehingga menciptakan tiupan angin yang dapat menghempaskan ribuan bola api milik Lucifer dan beradu dengan bola api baru yang ia ciptakan. Ini menimbulkan ledakan yang amat sangat kuat.
Meskipun aku mengembalikan bola api miliknya dan mengenai seluruh tubuhnya, itu tak membuat ia terluka sedikitpun. Karna pada dasarnya ia adalah api, maka dari itu, aku harus menyerangnya dengan cara lain.
"Menyerahlah, dan mari bangun singgasana kita berdua, Gabriel!" ucap Lucifer kepadaku.
"Tidak, dan bahkan aku bersumpah sampai aku matipun tak akan pernah membantu ataupun akrab denganmu! Camkan itu!" jawabku tegas padanya. Ia hanya menyeringai dan kini melesat terbang kearahku hendak membenturkan tamengnya kepadaku. Namun aku berhasil menahannya dengan pedang yang kugenggam. Karna tekanan yang ia berikan sangat kuat, aku harus terpental cukup jauh. Tak sampai disitu, ia kemudian mendatangkan awan badai yang pusat putarannya tepat diatas tubuhnya. Petir mulai tercipta dari gesekan awan-awan hitam yang ia buat, yang menjadikan suasana ini semakin mencekam.
Itu adalah perbuatan yang bodoh dari Lucifer, apakah dia lupa dari apa aku tercipta? Petir hanya akan membuatku menjadi tak terkendali. Kemudian ia kembali membuat bulatan lava pijar dan melesatkannya padaku. Kemudian aku terbang keatas hingga menembus awan badai bersama dengan bola api yang terus mengikutiku dari belakang. Petir kini menyambar ratusan bola api milik Lucifer dan menghancurkannya dibalik awan hitam.
"Ini saatnya," gumamku. Lalu Kupejamkan mata, bermaksud untuk mengumpulkan energi petir sebanyak yang aku bisa. Hingga semuanya siap, kini petir raksasa membawaku melesat menukik tajam ke arah Lucifer dan menebaskan pedangku sekuat tenaga yang masih berhasil ia tahan. Meski harus terbenam didalam lava panas karna efek dari benturan itu.
Dengan terengah-engah aku menunggu kemunculannya dipermukaan. Tapi, tanpa aku sadari, ia sudah berada tepat dibelakangku.
"Kau menungguku, Gabriel?" bisiknya. Yang langsung memukukulkan tongkatnya tepat mengenai punggungku. Kini tubuhku terhempas sangat jauh. Menghantam batu besar yang kemudian hancur karna menahan tubuhku. Aku berusaha untuk bangkit kembali dengan menancapkan pedangku ketanah sebagai penopang. Terlihat serpihan batu dan tanah yang mulai meliputi kaki sampai lututku dan mengeras menyatu dengan tanah. Membuat aku kesulitan untuk bergerak.
Lucifer keluar dibalik debu tebal. Kemudian berjalan kearahku dengan menunjukkan wajah angkuhnya.
"Ada pesan terakhir?" ucapnya sembari mengangkat tongkatnya yang mulai bercahaya hendak menghancurkan tubuhku dengan kekuatan tongkatnya itu.
"Kamu melupakan sesuatu, Lucifer," ucapku yang tak mempedulikan pertanyaannya itu.
"Apa?"
"Sayapku!" kemudian aku mengepakkan sayapku sekuat tenaga sehingga menciptakan hembusan angin yang amat sangat kuat. Ia berusaha menahan terpaan angin yang aku buat namun, gagal. Sehingga ia harus terpental cukup jauh dariku. Sihirnya mulai melemah, sehingga aku bisa keluar dari jeratannya dengan mudah.
Aku melesat terbang kearahnya dengan pedang yang lurus kedepan sehingga berhasil menusuk telapak kakinya.
"Aarghhh..." pekiknya yang langsung mengendalikan tanah bercampur lava yang secara langsung menyelimuti tubuhku lalu mengeras dan membenamkan tubuhku seutuhnya kedalam tanah. Namun, efek magis yang aku rasakan terasa lemah, bahkan dengan mudah aku bisa menghancurkan itu hanya dengan sedikit gerakan dari tanganku saja, sehingga aku bisa kembali berhasil keluar dari jeratnya.
Bukan darah yang keluar dari luka yang berhasil aku buat. Melainkan api yang sulit untuk dipadamkan yang secara perlahan membakar kakinya. Namun ia tak menggubris api itu. Dan langsung kembali membuat bola api yang lebih besar dan lebih banyak lagi yang langsung melesat kearahku. Namun dengan mudah aku kembali bisa mengembalikannya dengan mengepakkan sayapku dengan sangat kuat. Dan kembali menimbulkan ledakan yang amat besar dan kembali menghancurkan tempat disekitar kami. Aku tak menyianyiakan kesempatan disaat ia masih tak bisa melihatku karna terhalang oleh asap tebal. Aku kembali terbang dan memejamkan mata guna mengumpulkan lebih banyak petir. Karna hanya dengan kekuatan ini aku bisa menyerangnya secara pasti. Namun, secara tiba-tiba, waktu seakan terasa melambat. Gerakan-gerakan awan disekitarku yang awalnya bergerak cepat tak beraturan kini melambat dan semakin lambat. Aku bisa merasakan sesuatu yang merasuk kedalam diriku. Sesuatu yang menenenangkan dan menambah akan keyakinanku untuk menang.
"Ini... ini adalah doa dari kalian. Untukku," gumamku. Lalu waktu kembali pada kecepatannya. Petir yang aku kumpulkan sudah ada pada batas maksimum. Lalu aku melesat tajam bersamaan dengan petir yang langsung menyambar Lucifer. Suara ledakan yang dihasilkan sangatlah keras. Kini aku berhasil menebas kedua sayapnya dan menendang kepalanya hingga terpental menjauh. Percikan api kini muncul dan membakar sisa dari potongan sayap miliknya. Kemudian ia berusaha untuk berlari menjauh dariku. Tanpa berbasa-basi, aku melesat kembali dan menebas kedua kakinya hingga putus. Kemudian ia tersungkur setelah menerima pukulan dariku yang menyebabkan kedua taringnya patah.
Kini rasa takut sudah mulai menghinggapi dirinya. Aku bisa melihatnya dengan jelas dari raut wajahnya yang buruk rupa itu. Dengan keadaan panik, ia berusaha mengangkat tongkatnya untuk kembali mengurungku didalam bebatuan dan lava panasnya. Namun, usaha itu gagal setelah aku berhasil menyingkirkan tongkat itu dari tangannya oleh tebasan pedangku. Kini ia berusaha mundur dengan menarik tubuhnya yang kini mulai terbakar dari bawah pinggangnya menggunakan tangan secara perlahan kebelakang.
"Gabriel, jangan lakukan, kumohon," pintanya padaku. Namun aku tak menggubris permohonannya itu. Aku terus berjalan mendekatinya. Ia berusaha untuk menarik tongkatnya kembali dengan kekuatannya, namun aku tak akan membiarkan itu terjadi. Aku berlari melesat dan menebas tongkatnya sebelum berhasil ia genggam hingga patah menjadi dua.
"Tidakk... kumohon, Gabriel, ampuni aku,"
"Akan kukembalikan dirimu pada-Nya. Hanya dialah yang pantas untuk menghukummu," jawabku.
Tanpa berbasa-basi aku menginjak dadanya dengan kaki kiriku yang membuatnya tidak bisa bergerak lagi. Lalu menusukkan pedangku tepat kearah lambang Ta yang ada dikeningnya. Saat pedang ini berhasil menembus kepalanya. Percikan api itu kembali keluar disertai teriakan dari Lucifer yang tak mau aku kembalikan keneraka. Kini tubuhnya terbakar secara keseluruhan.
"Tiidaakkkk...!!!!" teriaknya, secara sekejap ia musnah menjadi ratusan bara api yang terbang keangkasa.
"Akhirnya," ucapku.
Setelah pertarunganku dengannya berakhir, aku mengepakkan sayapku dan terbang untuk menghampiri para manusia itu. Sesampainya aku didepan lingkaran itu. Aku menyentuhnya yang seketika lingkaran itu mulai memudar.
"Keluarlah, ini sudah berakhir," ucapku datar. Lalu mereka bermunculan dari balik pohon dan bebatuan tempat mereka berlindung. Perasaan malu itupun muncul saat melihat wajah mereka yang berseei-seri harus berubah kaku saat melihat wujudku saat ini.
Aku telah berbuat dosa pada mereka semua. Terutama pada Yandra, karna tidak mengungkapkan siapa jati diriku yang sebenarnya kala itu.
Ini salah ku...
Maaf...
*******
POV Yandra
Lingkaran ini akhirnya memudar, suara dari pertempuran antara Gabriel dan Lucifer amat sangatlah mengerikan. Membuat kami benar-benar tidak berani walau hanya mengintip barang sedikit. Bumi ini seakan tak henti-hentinya berguncang bersamaan dengan suara ledakan yang begitu menggelegar. Itulah alasan yang menjadikan lutut kami lemas dan memilih untuk diam saja.
"Keluarlah, ini sudah berakhir," suara itu, apakah Gabriel? Syukurlah, berarti dia berhasil mengalahkan Lucifer!
Saat aku keluar dari balik batu besar ini. Terlihat sayap megah Gabriel yang putih namun lusuh. Terlihat juga ada bagian bulu yang rontok di sayap kanannya.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir.
"Maafkan aku, Yandra. Dan kalian semua, ampuni dosa yang sudah aku perbuat. Karna aku tak memberitau siapa diriku yang sebenarnya pada kalian," ia kemudian bersujud dihadapan kami semua. Lalu aku menghampirinya dan memegang tangan besarnya yang ia gunakan sebagai bantalan keningnya.
"Tidak, Gabriel. Kau tak usah berkata seperti itu," ucapku.
"Yandra, itu adalah sebuah dosa. Dan jika aku berdosa, Tuhan tidak akan pernah menerimaku lagi," ayah lalu menghampirinya, begitu juga dengan yang lain. Hingga kami semua berada tepat didepan Gabriel yang tinggi besar.
"Gabriel, bangunlah." lalu ia menghadapkan wajah penuh penyesalannya itu pada kami.
"Kami semua memaafkanmu, atas semua kesalahanmu," lanjut ayah pada Gabriel.
"Terimakasih, Tuan Prasraya," kini ia bisa tersenyum sekarang. Begitu juga kami. Dan beberapa di antaranya ada yang menangis karna terharu.
"Berdirilah," titah ayahku.
Kemudian ia bangkit dan kembali berdiri. Seketika itu pula tubuhnya memancarkan cahaya yang sangat terang. Disusul oleh awan gelap yang mulai menurunkan hujan yang sangat deras, kemudian memadamkan semua api yang Lucifer buat. Kami semua menikmati setiap tetesan hujan yang menerpa. Rasa syukur lalu kami panjatkan kepada yang kuasa atas semua pertolongan yang sudah diberikan. Juga bersyukur, bisa bertemu dengan Gabriel. Ini adalah bukti, bahwa Engkau itu ada dan.... pada akhirnya aku percaya. Sangat percaya.
Tiba-tiba awan mendung itu terbuka dan sinar itu menyorot tubuh Gabriel.
"Terimakasih, kini aku bisa diterima lagi di sisi-Nya," ucap gabriel.
"Apa kau akan pergi?" tanyaku yang kemudian tak bisa menahan air mataku.
"Ya, tugasku sudah selesai. Janganlah menangis. Kelak, kau akan bisa bertemu denganku,"
"Tapi, sebelum kau pergi. Aku ingin kau menjadi saksi," ucap Cheryl yang tiba-tiba berjalan kearahku. Kemudian ia menyerahkan kantung yang berisi permen yang sempat hilang dari dalam sakuku.
"Ini... kau?"
"Ya, aku memungutnya. Dan ayahmu lah yang mberitahukan semuanya." aku tak bisa membalas perkataanya itu. Yang jelas, kini ia sudah tau apa yang selama ini aku sembunyikan darinya.
"Jadi, apakah perasaan itu benar adanya, Yandra?"
"I... iya, kau masih tetap menjadi gadis yang selama ini aku cari," kemudian ia tersenyum dan memelukku dengan sangat erat.
"Terimaksih, Yandra. Ternyata perasaan ini tak pernah salah. Selama ini, akupun merasakan ada sesuatu yang janggal darimu," ucap Cheryl yang masih memelukku.
"Ssttt.... Cheryl, I Love U,"
"Hmmmm...... I Love You To," balasnya padaku. Lalu ayah dan yang lainnya bersorak atas balasan yang Cheryl berikan padaku. Aku melihat Gabriel tersenyum pada kami berdua yang masih berpelukan. Kini perlahan ia memudar, dan menyisakan bias cahayanya saja.
"Selamat, Yandra." ucap Gabriel. Itulah kata-kata terakhir yang bisa ia ucapkan dan berhasil aku dengar, karna suaranya sangatlah pelan, ditambah mereka yang masih terus bersorak dan mengucapkan selamat padaku, maksudku pada kami berdua.
************
"Sayaang... Simpanlah dulu alat pancingmu itu,"
"Baiklah, makan apa kita hari ini?"
"Aku memasakkan sup jamur kesukaanmu,"
"Waahh.. Pasti ini akan sangat enak,"
"Tunggu, jangan berani-berani menyentuh ini," ia menunjuk ayam bakarnya.
"Okay," lalu Cheryl beranjak dan pergi meninggalkanku.
Kami yang tersisa dari dahsyatnya pertempuran melawan Nun bisa dengan bebas pergi kemanapun yang kami mau tanpa ada lagi kekhawatiran. Kami bisa tidur dengan nyenyak secara bersamaan. Tanpa harus bergantian untuk berjaga.
Ayah dan ibu sudah tinggal bersama para pengawalnya, begitu juga dengan bibi Shuani yang baru saja mengunjungi kami kemarin. Dan sudah kembali ketempat ibu dan ayah.
Chendric? Hmm... Tampaknya dia sudah mulai tumbuh dewasa. Dia bilang akan datang kemari dan membawa pujaan hatinya itu. Hahaha... rasanya baru kemarin ia merayakan ulang tahunku dengan hidung merahnya dipagi buta.
Aku dan Cheryl tinggal dirumah panggung yang dibuat secara bergotong royong tepat ditepian danau yang kaya akan ikan dan berbagai tumbuhan yang bisa kami manfaatkan disekitaranya. Kami sudah bisa merasakan kenikmatan yang sebenarnya. Terimakasih Tuhan. Terimakasih.
"Akhirnya datang juga," sahutku pada Cheryl.
"Gabriel, kau boleh saja main. Tapi jangan lupa makan juga, kan?" ucapnya yang sedang menegur bocah laki-laki sembari terus menggandeng tangannya. Ya, dialah anakku dan Cheryl, dia bernama Gabriel. Gabriel Sidharta. Dan 4 hari lagi ia akan merayakan ulang tahunnya yang ke 10.


Tamat...

No comments:

Post a Comment